ANALISIS DRAMA
“DOMBA-DOMBA REVOLUSI ”
KARYA B. SOELARTO
MENGGUNAKAN PENDEKATAN STRUKTURALISME FIKSIONAL ROBERT STANTON
Oleh : Muhammad Alfian Tuflih
Teori Struktural Robert Stanton
Adapun teori struktural yang digunakan untuk
menganalisis adalah teori struktural Robert Stanton. Stanton membagi unsur
intrinsik fiksi menjadi dua bagian, yaitu: fakta cerita dan sarana cerita. Ia
membagi unsur fakta cerita menjadi empat, yaitu alur, tokoh, latar, dan tema.
Sedangkan sarana cerita terdiri dari judul, sudut pandang, gaya bahasa dan
nada, simbolisme, dan ironi.
Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta
cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari
sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan
„struktur faktual‟ atau „tingkatan faktual
cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual
adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22).
Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagia berikut:
1. Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian
peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada
peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal
merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai
peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada
keseluruhan karya (Stanton, 2007:26).
Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan
elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendri meskipun jarang
diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah
seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang
mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya
dengan elemen-elemen lain, alur alur memiliki hukum-hukum sendir; alur
hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinan dan
logis, dapat menciptakan bermacam-macam kejutan, dan memunculkan sekaligus
mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007:28).
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‟konflik‟ dan ‟klimaks‟.
Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan ‟sifat-sifat‟ dan ‟kekuatan-kekuatan‟ tertentu.
(Stanton, 2007:32).
Menurut Soediro Satoto, 1996: 28-29 sorot balik (flashback),
yaitu urutan tahapannya dibalik seperti halnya regresif. Teknik flashback jelas
mengubah teknik pengaluran dari yang progresif ke regresif. Berbeda dengan
teknik tarik balik (backtracking), jenis pengalurannya tetap
progresif, hanya saja pa da tahap-tahap tertentu, peristiwanya ditarik ke
belakang. Jadi yang ditarik kebelakang hanya peristiwanya (mengenang peristiwa
yang lalu) tetapi alurnya tetap alur maju atau progresif.
Dalam drama “Domba-domba Revolusi” karya
B. Soelarto ini alur yang digunakan adalah alur maju. Cerita berjalan sesuai
dengan langkah-langkhanya. Dumulai dari perkenalan, konflik awal, puncak
konflik, klimaks, dan penyelesaian. Perkenalan dimulia ketika Perempuan
(pemilik) losmen kedatangan tamu-tamu dari luar (penyair, pedagang, petualang,
dan politikus). Kemudian terjadi konflik awal antara masing-masing tokoh yang
memiliki karakter berbeda. Puncak konflik terjadi saat Perempuan mencoba
memberikan tanda pada penyair yang menutarakan rasa cintanya. Berlajut dengan
kedatangan kembali petualang setelah berhasil menyingkirkan kuedua rekan
komplotannya (pedangang dan politisi). Klimaks nya ketika petualang juga
mencoba menipu perempuan, seperti yang ia lakukakan pada kedua teman
komlotannya. Terakhir, penyelesaian pada darama ini ketika si perempuan
membunuh serdadu dan mencoba membunuh petualang yang dianggapnya sebagai
pengkhianat bangsa. Alur maju memang sangat cocok digunakan pada drama
yang bergenre semiaction ini. Alur maju mempermudah penonton untuk memahami dan
menarik amanat pada drama ini. Secara tekstual, alur maju juga
mempermudah pembaca untuk memberikan interpretasi terhadap teks yang dikajinya.
2. Tokoh
atau Karakter
Tokoh atau biasa disebut „karakter‟ biasanya
dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada
individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk
pada berbagai percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan
prinsip moral dari individu-individu tersebut. Dalam sebagian besar cerita
dapat ditemukan satu “tokoh utama‟ yaitu
tokoh yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Alasan
seorang tokoh untuk bertindak sebagaimana yang dilakukan dinamakan „motivasi‟ (Stanton,
2007:33).
Pada drama “Domba-domba Revolusi” karya
B. Soelarto ini ada enam tokoh utamanya. Masing-masing adalah Perempuan,
Penyair, Petualang, Pedagang, Politikus, dan Serdadu. Tokoh Perempuan mewakili
karakter pejuang perempuan. Dalam drama ini, perempuan memiliki sifat yang
begitu keras dan tidak akut terhadap ancaman dari laki-laki. Hal inilah yang
kemudian membawa perempuan menajdi tokoh sentral dalam drama ini. Tokoh
selanjutnya adalah penyair. Sosok yang digambarkan sebagai manusia yang tidak
jelas dan agak “ugal-ugalan” dari penampilnnya. Namun, penampilanya itu bertolah
belakng dengan sikapnya. Dibandingkan tokoh lain yang digambarkan dengan
penampilan nasionalis, sosok penyair justru lebih. Ia membawa sebuah paradigma
baru bahwa tidak selamanya sesuatu yang diluarnya jelek itu, mewakili isi
dalamnya. Buktinya penyair yang diluarnya jelek, namun di dalam hatinya begitu
mulia dan sangat nasionalis.
Tokoh selanjutnya adalah Petualang. Dalam drama ini,
sosok antagonis sangat tepat disarangkan pada tokoh ini. Kelicikanya begitu
terlihat pada drama ini. Sosok berikutnya adalah pedagang dan politikus. Kedua
tokoh ini memiliki pean yang sama. Keduanya sama-sama menjadi “tameng” untuk
melancarkan niat busuk Petualang. Dan akhirnya, kedua tokoh ini harus meninggal
karena kebodohannya. Tokoh selanjutnya yang merupakan tokoh pelangkap adalah
serdadu. Perannya kurang terlihat pada drama ini. Fungsinya lebih menjurus
untuk mewakili sikap bangsa penjajah yang suka “menikmati” perempuan Indonesia.
Kelebihan pada drama ini terletak pada kemampuan
penulis memainkan karakter tokoh. Penulis mampu menganalogikan antara tokoh
pada drama dengan realitas. Dalam drama ini, tokoh-tokoh yang ada mewakili
realitas orang-orang yang ada pada masa perjuangan merebut kemerdekaan. Ada
yang nasionalis dan ada pula yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
3. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah
peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlansung. Latar dapat berwujud dekor. Latar juga dapat berwujud
waktu-waktu tertentu. Latar terkadang berpengaruh pada karakter-karakter. Latar
juga terkadang menjadi contoh representasi tema. Dalam berbagai cerita dapat
dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mode emosional
yang melingkupi sang karakter. Toneemosional ini disebut dengan
istilah „atmosfer‟. Atmosfer bisa jadi merupakan
cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter (Stanton, 2007:35-36).
Latar yang digunakan pada drama ini kurang sesuai jika
coba menggambarkan keadaan mempertahankan kemerdekaan. Pada drama ini,
settingnya dilakukan di dalam sebuah losmen tua. Tidak terlalau banyak
interaksi dengan lingkungan yang menggambarkan perang kemerdekaan. Hanya desing
peluru dan bom yang ada, itupun terjadi diluar losmen. Hal ini membuat drama
ini kurang menarik namun inti nya masih dapat dipetik. Fokus drama ini memang
sebatas doktrin nasionalis yang ditonjolkan, bukan pada settingnya.
4. Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam
pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat
(Stanton, 2007:36).
Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu,
mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir akan menjadi pas, sesuai, dan
memuaskan berkat keberadaan tema (Stanton, 2007:37).
Tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai
berikut:
a. Interpretasi yang baik hendaknya selalu
menpertimbangkan berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini
adalah yang paling penting.
b. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh
oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi.
c. Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya
tidak bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya
secara implisit).
d. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya
diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan (Stanton, 2007:44-45).
Pada aspek tema, sepertinya tidak ada hal yang perlu
di kritisi. Drama ini sudah sesuai dengan teman yang telah di konstruksi oleh
penulisnya. Secara keseluruhan, drama ini bertemakan para pengkhiat dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Sarana Cerita
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode
(pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang
bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat
berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta
tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007:46 47).
1. Judul
Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan
karena menunjukkan karakter, latar, dan tema. Judul merupakan kunci pada makna
cerita. Sering kali judul dari karya sastra mempunyai tingkatan-tingkatan makna
yang terkandung dalam cerita. Judul juga dapat berisi sindiran terhadap kondisi
yang ingin dikritisi oleh pengarang atau merupakan kesimpulan terhadap kedaan
yang sebenarnya dalam cerita (Stanton, 1965:25-26)
Dalam drama “Domba-domba Revolusi” karya
B. Soelarto ini judul yang digunakan sangat menarik. Penulis memilih kata domba
untuk mewakili karakter. Domba memnag sering digunakan untuk menganalogkan
sesuatu yang multi karakter. Seperti istilah serigala berbulu domba. Secara
hermeneutik, domba juga dipilih karena domba merupakan hewan yang berbulu
tebal. Sehingga kita tidak tahu apa yang ada dibalik bulu domba itu, apakah
baik atau buruk. Seperti yang tergambar pada karakter tokoh dalam drama ini.
2. Sudut
Pandang
Stanton dalam bukunya membagi sudut pandang menjadi
empat tipe utama. Pertama, pada „orang pertama-utama‟ sang
karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Kedua, pada „orang
pertama-sampingan‟ cerita dituturkan oleh satu
karakter bukan utama (sampingan). Ketiga, pada ‟orang
ketiga-terbatas‟ pengarang mengacu pada
semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa
yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja. Keempat, pada‟orang
ketiga-tidak terbatas‟ pengarang mengacu pada
setiap karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat
membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau perpikir atau saat tidak ada
satu karakter pun hadir.
Pada drama“Bapak” karya L. Soelarto ini
penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas. Artinya, penulis tidak
sepenuhnya mengetahui tentang semua seluk beluk dalam drama ini. Ini terlihat
ketika pembaca tidak mengetahui ternyata tokoh anagonis dalah petualang dengan
segala kelicikannya. Begitu pula yang terjadi pada tokoh perempuan yang
ternyata merupakan ibu tiri dari tokoh penyair.
3. Gaya
dan Tone
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam
menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter dan latar
yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut
secara umum terletak pada bahasa dan penyebar dalam berbagai aspek seperti
kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan
banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan
kadar tertentu) akan menghasilkan gaya (Stanton, 2007:61).
Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah „tone‟. Tone adalah
sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa
menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius,
senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan (Stanton, 2007:63). Tone pada drama
ini sangat terlihat pada karater semua tokoh pada drama ini.semua tokoh
memainkan karakternya masing-masing mewakili realitas yang ada. Hal ini membuat
keseimbangan pada drama ini.
4. Simbolisme
Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek
yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan.
Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita
menunjukkan makna peristiwa tersebut. Dua, simbol yang ditampilkan
berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta
cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan
membantu kita menemukan tema (Stanton, 2007:65).
Salah satu bentuk simbol yang khas adalah „momen
simbolis‟. Istilah ini dapat disamaan
dengan „momen kunci‟ atau „momen pencerahan‟ (dua
istilah ini sering dipakai oleh para kritisi). Momen simbolis, momen kunci,
atau momem pencerahan adalah tabula tempat seluruh detail yang terlihat dan
hubungan fisis mereka dibebani oleh makna (Stanton, 2007:68).
Pada drama ini, tidak terlalu banyak symbol yang
digunakan. Berbeda dengan konsep drama turgi yang kaya akan symbol. Drama ini
lebih mengutkan dirinya pada karakter dan alur. Dalam analisa penulis, bahkan
tidak ada symbol yang digunakan.
5. Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk
menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya.
Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita (terutama yang dikategorikan
„bagus‟). Dalam dunia fiksi, ada dua
jenis ironi yang dikenal luas yaitu „ironi dramatis‟ dan „tone ironis‟ (Stanton,
2007:71).
„Ironi dramatis‟ atau
ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara
penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dan
hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pasangan elemen-elemen
di atas terhubung satu sama lain secara logis (biasanya melalui hubungan kausal
atau sebab-akibat) (Stanton, 2007:71). „Tone ironis‟ atau
„ironis verbal‟ digunakan untuk menyebut
cara berekspresi yang mengungkapkan makna dngan cara berkebalikan (Stanton,
2007:72).
Berbicara mengenai ironi, drama ini tak perlu
diragukan lagi. Diantara eleman-eleman lainnya, kekutaan drama ini terletak
pada Ironi yang berhasil dimainkan penulisnya. Ada banyak ironi pada drama ini
yang bisa dinikmati pembaca. Mlai dari politisi yang seharusnya menjadi pembela
bangsa, justru mau mengkhiatai bangsanya. Begitu juga dengan pedagang yang
ternyata hanya setengah hati dan tidak ikhlas menymbangkan hartanya demi
kemerdekaan. Kemudian pada penyair yang justru dalam relaits digambarkan
sebagai seorang yang tidak jelas, justru dalam drama ini merupakan pahlawan
yang sebenarnya. Hal ini menjadi kelebihan dari drama ini.
REFERENSI
Suyoto, Agustinus. 2009. Dasar-dasar Apresiasi
Drama. Yogyakarta: SMA Stella Duce
Lestari, L.A. dan Wahab, A. 1999. Menulis
Karya Ilmiah. Jogjakarta: Airlangga University Press.
Soelarto, B.. 1985. Lima Drama. Jakart: PT
Gunung Agung
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa .1993. Kamus Besar Bahasa Indoneisa edisi kedua. Jakarta: Balai
Pustaka.
Suguhastuti dan Rosi Abi. 2007. Teori Fiksi
Robert Stanton. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Waluyo, Herman J. 2001. Drama: Teori dan
Pengajarannya. Jogjakarta: Graha Hanindita.
Unsur Intrinsik
Cerpen As-Sahmu
Karya Naguib Mahfouz
Analisis Strukturalisme
Robert Stanton
A. Pendahuluan
Makalah ini dibuat
untuk membuktikan nilai estetika internal yang terdapat dalam cerpen السهم (anak
panah)[1] karya Najib Mahfudz, dengan
menggunakan teori strukturalisme Robert Stanton.
Dalam melakukan
analisis untuk membongkar dan mengidentifikasi unsur-unsur cerpen As-saham ini,
Robert Stanton membagi elemen-elemen intrinsik menjadi empat bagian yaitu:
pertama fakta cerita, meliputi : alur, tokoh dan latar; kedua, sarana cerita,
meliputi : judul, sudut pandang, gaya bahasa dan nada, simbolisme dan ironi;
dan ketiga tema[2].
Melalui tema dan
karakterisasi tokoh kita akan banyak mengungkap fakta cerita dan pesan yang
ingin disampaikan oleh pengarang[3]. As-Saham karya Najib Mahfudz merupakan
sebuah kisah penggambaran kondisi mayarakat Mesir, yang pada saat itu tengah
terjadi polemik kekuasaan dan gejolak sosial kemanusiaan. Mahfudz menggambarkan
dan menganalogikan kondisi tersebut dengan jelas melalui penamaan dan karakter
tokoh, setting (waktu dan tempat), alur cerita, sudut pandang (point of view),
gaya bahasa dan tema.
B. Pembahasan
Sesuai dengan teori
yang kita gunakan, dalam mengidentifikasi unsur-unsur internal cerpen As-saham
ini kita akan memulai dari latar cerita terlebih dahulu. Menurut Stanton,
analisis dimulai dengan menentukan latar cerita terlebih dahulu. Stanton berpendapat,
ketika sudah diketahui latarnya maka unsur-unsur pembangun lain dalam cerita
tersebut akan mudah diketahui dengan sendirinya, karena pada dasarnya semua
unsur tersebut saling terkait satu sama lain.[4]
Lingkungan
yang melingkupi peristiwa dalam cerita (latar tempat) cerpen ini
adalah: benteng tua dekat distrik ( الصحن القديم)[5], hampir semua kejadian dari
cerita dalam cerpen ini terjadi disekitar benteng tua tersebut, seperti
peristiwa pembunuhan Zain Barkah. Kemudian untuk latar waktu dalam cerpen itu
adalah pagi hari atau perayaan atau hari peringatan kemerdekaan, nampak dari
kata ini: ( في يوم السوق - الصباح)[6].
Alur yang dibangun
dalam cerpen As-saham ini adalah alur regresif atau alur maju dengan teknik
bercerita teknik balik ( flashback). Karena cerpen ini
dimulai dengan pengisahan sebuah peristiwa pembunuhan yang menimpa
seorang Mu’allim bernama Zain Barkah, beberapa waktu lalu. Yang diulas oleh
salah satu tokoh dalam cerita tersebut (Syekh al-Haroh), bagaimana, dimana, dan
seperti apa korban terbunuh diceritakan kembali secara
detail.
Dalam cerpen ini terdapat satu tokoh utama yang
menjadi sentral penceritaan yaituزين البركه (seorang Mua’alim/Guru)[7]. Untuk karakterisasi penokohan sendiri,
cerpenالسهم (anak panah) karya Najib Mahfudz, selain disampaikan
melalui tuturan pengarang, penampilan tokoh, juga melalui
karakterisasi nama tokoh itu sendiri. Nama tokoh dalam suatu karya sastra
sering digunakan untuk mengungkapkan ide, gagasan, memperjelas serta
mempertajam perwatakan tokoh.[8] Dalam cerpen ini, para tokoh
diberikan nama yang menggambarkan karakteristik yang membedakannya dengan tokoh
lain.
Tokoh sentral dalam
cerpen ini yaitu زين البركه memiliki karakter tokoh sebagai seorang martir kebenaran
yang diperkuat dengan karakter yang melekat padanya, seperti: baik (زين),
penolong (البركه), pengajar (عالم), dikuasai (ملك), relawan (معلم), orang yang pintar (معلم), rendah hati ( ركب الحمر), miskin (فوق الحمر). Tokoh ini masuk dalam perwatakan tokoh
sederhana (simple/flat character), yaitu hanya memiliki satu kualitas pribadi,
tidak mengalami perubahan watak, tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang
dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca.
Karakter yang
tergambar dari sosok Zain Barkah(زين البركه), yang dapat disimpulkan bahwa zain barkah
ini adalah seorang pejuang kebenaran yang berusaha mempertahankan tradisi
keilmuan tradisional.
زين
البركه merupakan
gambaran seorang mualim yang sederhana yang teguh menegakkan panji-panji
kebenaran. Sosok yang sabar dan rendah hati meski telah diberitakan tidak baik
oleh pihak-pihak yang merasa terganggu dengan keberadaannya. Sampai akhirnya ia
terbunuh.
Selain tokoh utama,
kisah dalam cerpen ini diperkuat oleh kehadiran beberapa tokoh pendukung
seperti : شيخ الحارة . Tokoh ini menjadi tokoh yang paling menonjol dengan
karakter dan otoritasnya sebagai pemimpin yang diktator. yang
diperkuat dengan karakter yang melekat padanya yaitu: pemarah ( ضيّق الخلق), sok tahu ( عارف). penguasa ( مالك),
suka berprasangka (ظنّ), tidak pendendam (لم يضنّ), dibenci ( كراهية), peduli ( وحملو معلم ثم جعل يفحص المعلم منكبا). شيخ الحارة merupakan gambaran sosok penguasa
yang memiliki otoritas tinggi dalam menentang berbgai hal yang tidak sesui
dengan pandangan hidupnya. Sikapnya yang diktator dan senang menekan
orang-orang lemah, membuatnya ditakuti orang-orang.
Tokoh pendukung
lainnya: لأم بسيمه [9] dengan karakternya sebagai seorang perempuan
baik-baik {ramah/murah senyum (بسيمه), baik راجعة
من توليد امرأة),jujur (التصديق),
penolong (راجعة من توليد امرأة), dikuasai ( ما لك)},
kemudian شيخ لأرضان [10]sebagai penguasa alam gaib yang memiliki
karakter {tahu (عالم), penolang (تطوع), jujur (التصديق), dapat dipercaya (أمنة)},
dan أهل العمر والخبرة [11]sebagai penguasa ilmu dunia dengan
karakter {penolong (تطوع), jujur (التصديق), tahu (عالم), dapat dipercaya (أمنة). Tokoh-tokoh ini hanya sebagai tokoh
pendukung untuk memainkan dan memperjelas karakter tokoh-tokoh sentral.
Sudut pandang atau
point of view atau gaya bercerita cerpen ini adalah gaya bercerita orang ketiga
tidak terbatas (pengarang mengacu pada karakter dan memposisikanya sebagai
orang ke tiga). Yaitu si pengarang memilih seorang tokoh dan ceritera, dengan
demikian si tokoh menyampaikan visinya sendiri.[12] Hal ini dapat dibuktikan dari teks,
yaitu berupa ungkapan paragraf pertama (وكان أعجب ما أسفر
عنه البحث اللأولى أنّالمعلم قتل بسهم أصابه في القلب ) penulis
memposisikan dirinya sebagai dalang (orang yang memainkan cerita).
Gaya bahasa adalah
cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa
dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).[13] Cerpen ini menggunakan beberapa
diksi dan gaya bahasa, diantaranya: pertama, metafora yaitu semacam analogi
yang membandingkan dua hal secara langsung.[14]
Dapat kita lihat dalam kalimat ini (سنرا الفاسقين عرايا تحت الشمس- وما جت الأرض بالمسومات والغزل
ولشتام ).[15]
Kedua, simbol. Simbol
dapat muncul dalam tiga efek, pertama muncul pada suatu kejadian penting dalam
cerita menunjukan makna peristiwa tersebut.[16] Seperti contoh berikut: anak
panah yang merupakan alat yang digunakan pelaku untuk membunuh korban juga
diartikan sebagai simbol alat pertahanan negara (السهم ). Kedua simbol
ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam
semesta cerita.[17] Sepert nama-nama yang digunakan
dalam tokoh cerita : زين البركه - شيخ
الحارة - simbol
tersebut muncul berulang-ulang. Ketiga, sebuah simbol akan mencul berbeda-beda
akan membantu kita menentukan tema.[18] Seperti beberapa simbol berikut:
simbol ilmu pengetahuan (أهل العمر والخبرة), simbol ilmu agama (شيخ رمضان). simbol
masyarakat biasa (potret seorang guru) : فوق الحمر زين البركه, simbol kekuatan dan kekuasaan negara (الصحن القديم), simbol
tempat berkumpulnya orang dari berbagai kalangan (مقهى).
Berdasarkan komponen
unsur-unsur yang telah diuraikan diatas, serta isi dari keseluruhan dalam
cerita As-saham, tampak sebuah pesan atau tema yang
tersirat. Cerpen ini mengangkat tema yang berkaitan dengan “pertarungan antara
kelompok nasionalis (yang diwakili oleh karakterisasi Al-haroh) dengan kalangan
tradisionalis (yang diwakili oleh karakterisasi Barkah)”. Hal ini nampak dari
nilai-nilai yang dibangun oleh karakter tokoh utama seperti nilai kesetiaan,
perjuangan, keberanian dan harga diri. Karena tema merupakan pokok pembicaraan
dalam sebuah cerita atau dapat juga berarti pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang.[19]
C. Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa
kita tarik dari tulisan cerpen As-saham karya Najib mahfudz, yang menggunakan
teori strukturalisme Robert Stanton sebagai kerangka berpikirnya adalah pesan
yang ingin disampaikan oleh penulis akan terlihat dari tema dan
karakter-karakter tokoh yang dimainkan didalam cerita ini. karena inilah salah
satu kelebihan teori struktural. Kita dapat melihat nilai keindahan karya
sastra dalam cerita ini secara utuh dan menyeluruh. Cerita tersebut merupakan
gambaran perlawanan kalangan terdidik (cendekiawan) kepada kalangan kaum
nasionalis (penguasa pemerintahan).
Daftar
Pustaka
Guntur Tarigan Henry,
2009, Pengajaran Gaya Bahasa,Bandung: Percetakan Angkasa.
Keraf Gorys, 2004.
Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama .
Minderop Albertine,
2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rohani Adi Ida, 2011,
Fiksi Populer Teori dan Metode kajian,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stanton Robert, 2007,
Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
نجيب
محفوظ,1997, السهم, القاهرة: الهيئة المصرية العا مة للكتاب
[8] Albertine
Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi,Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,2005,Hal.8
[12] Albertine
Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi,Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,2005,Hal.90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar