BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dari realita yang ada,
dan sering juga kita dengar tentang kasus suap menyuap, padahal telah jelas
dilarang dalam agama islam, telah dijelaskan dalam nash, yaitu al Quran dan al
hadits bahwa perbuatan suap menyuap itu diharamkan. Akan tetapi banyak sekali
orang yang melakukan perbuatan suap menyuap, biasanya didalam pengadilan, di
luar itupun masih banyak lagi, seperti untuk masuk sekolah yang bonafit bukan
hanya bermodal dengan nilai UN yang bagus akan tetapi uang tetap ada di
belakang semua itu, oleh karena itu kita sebagai umat islam, jauhilah semua
perbuatan yang tercela tersebut.
Suap terjadi sebagai
ungkapan gejala venalitas yang makin merebak. Secara sosiologis, istilah
venalitas menunjuk pada suatu keadaan saat uang bisa digunakan membayar hal-hal
yang secara hakiki tidak bisa dibeli dengan uang.
Keadilan bisa
dipertukarkan dengan uang. Begitu pula dengan pasal-pasal dalam kebijakan.
Dalam uang, terdapat faktor ekonomi yang bernama keuntungan.
Dalam jangka pendek, suap
paling mudah dilakukan karena langkah itu akan memotong serangkaian prosedur
demokrasi yang rumit dan melelahkan serta hanya akan menghasilkan
"keadilan" yang tidak diinginkan. Elite politik dan ekonomi melihat
suap sebagai langkah potong kompas yang bisa dilakukan untuk menghindari
dirinya menderita kerugian secara ekonomis.
Suap berkaitan dengan
mentalitas dan sistem. Suap terjadi akibat sebagian kecil elite sejak semula
sudah terdidik untuk melakukannya. Untuk menjadi anggota parlemen, sudah
menjadi rahasia umum berbagai jenis KKN dilakukan, dari yang skala kecil sampai
besar. Begitu pula untuk "menjadi pejabat". Makin lama, suap menjadi
mentalitas bersama yang berlindung dalam budaya "tahu sama tahu".
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN SUAP
Uang bukan segalanya,
namun segalanya butuh uang. Inilah slogan yang sering terdengar dikalangan
masyarakat berkaitan dengan melegalkan segala cara untuk memperoleh yang
diinginkan. Bagaimana tidak, banyak kasus yang dapat dijumpai jika tidak ada
‘uang pelicin’ maka akan menemui banyak kendala, birokrasi berbelit-belit atau
mungkin terjadi pengulur-uluran waktu untuk mencapai kesepakatan. Sudah tidak
asing lagi ‘uang pelicin’ atau suap bagi kita.
Namun kenyataannya
banyak yang menyalah artikan suap sebagai hadiah, akan tetapi keduanya
sebenanya sangatlah berbeda arti. Jika kita tidak memahaminya dengan benar dan
meremehkan hal tersebut bisa jadi kita akan terimbas baik hanya sebagai pelaku
suap atau penerima suap.
Secara Istilah (kamus
Bahasa Indonesia) Suap adalah memberi uang dan sebagainya kepadapetugas
(pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan, sedangkan
secara istilah dalam islam disebut Ar-Risywah, Menurut Al-Mula Ali Al-Qari
rahimahullah
“Ar-Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan untuk menggagalkan perkara yang benar atau mewujudkan perkara yang bathil (tidak benar).”
“Ar-Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan untuk menggagalkan perkara yang benar atau mewujudkan perkara yang bathil (tidak benar).”
Dalam konteks sistem,
suap terjadi karena mekanisme yang ada dalam proses kebijakan memiliki
celah-celah. Argumentasi yang dikemukakan tiap pihak mentah karena apa yang dipikirkan
hanyalah kepentingan golongan masing-masing. Di satu sisi, parlemen sudah
kurang peduli terhadap konstituen dan rakyatnya, di sisi lain penyuap merasa
prosedur birokrasi yang ada terlalu membebani, tidak realistis, dan sering
mengada-ada.
Suap terjadi akibat
ketidakpercayaan dan keengganan terhadap demokrasi yang bisa melahirkan
kehidupan publik yang lebih sehat. Suap juga terjadi akibat prasangka negatif
bahwa segala jalan bisa ditempuh asalkan tujuan tercapai. Akibatnya, walaupun
dalam proses demokrasi sekalipun yang tampak di depan mata, di dalamnya publik
jarang mengetahui ada suap. Sulit dibuktikan apalagi ditangkap.
Memberantas kasus suap
bisa dilakukan dalam dua perspektif sekaligus. Pertama, secara jangka panjang
elite politik harus dipilih melalui mekanisme yang benar-benar bersih. Mereka
harus terbukti memiliki integritas tinggi. Langkah itu diharapkan melahirkan
budaya baru berbangsa dan bernegara. Kedua, dalam jangka pendek, sanksi hukum
atas pelaku penyuapan (pemberi dan penerima) harus tegas dijatuhkan.
Hukum yang berenergi
akan mengabaikan imunitas sekelompok masyarakat yang seolah-olah memiliki
imunitas hukum. Kenyataannya, selama ini seseorang merasa kebal hukum apabila
ia memiliki kekuasaan untuk membelinya. Segala sanksi atas pelanggaran hukum
bisa dibeli karena "sudah ada harganya". Begitu bebalnya masyarakat
elite kita, bahkan sanksi moral masyarakat yang sudah dijatuhkan sejak lama
tidak juga mengubah perilaku. Sanksi hukum akan memperkuat sanksi moral itu
sambil tetap berharap ada efek jera dan memberikan pelajaran kepada yang lain.
Budaya elite di negeri
ini sering berlomba-lomba untuk mencari imunitas karena merasa dirinya memiliki
kekuatan untuk berbuat segala sesuatu. Kekebalan atas hukum melahirkan
kebebalan yang sangat menyebalkan. Praktek hukum tidak ubahnya orang membelah
bambu, injak yang bawah dan selamatkan yang atas. Para mafia dan "pialang
keadilan" mondar-mandir mencari mangsa.
Suap menjadikan hukum
mandul dan demokrasi mati. Mekanisme dan aturan yang ditetapkan untuk kebaikan
bersama, secara bersama-sama pula dilanggar, baik dengan cara terang-terangan
maupun yang sangat tidak kelihatan. Karena seperti itulah harus dikatakan bahwa
suap, apa pun dan di mana pun, merupakan pengkhianatan terhadap publik secara
nyata.
Berkat kecanggihan
teknologi dan modernisasi, kini suap juga makin sulit diungkap. Pelakunya
biasanya selalu belajar memahami seluk-beluk lingkungan tempat ia bekerja,
termasuk mempelajari taktik bagaimana keluar dari jerat hukum.
Suap terjadi bukan hanya
di jalanan, antara pelanggar lalu lintas dan aparat, melainkan juga di kantor
kelurahan maupun kecamatan. Ia juga terjadi di parlemen, tempat teladan dan
pengharapan disemaikan.
Menyuap dalam
masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainya kepada
penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukum
ringan.
Perbuatan seperti itu
sangat dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan
haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta
yang diperoleh melalui jalan batil. Allah SWT berfirman dalam al Qur'an.
“Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain diantara
kamu dengan jalan yang batil,(janganlah kamu)membawa (urusan )harta itu kepada
hakim supaya kamu dapat memakan sebagian pada harta benda orang lain
dengan(jalan) berbuat dosa padahal kamu mengetahui.(al Baqarah:188)”
Suap-menyuap sangat
berbahaya dalam kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas
sistem dalam masyarakat, dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan
dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang.
Akibatnya terjadi
kekacauan dan ketidakadilan . dengan suap, banyak para pelanggar yang
seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos
dari jeratan hukum. sebaliknya, banyak pelanggar hukum kecil, yang dilakukan
oleh orang kecil mendapat hukuman sangat berat karena tidak memiliki uang
untuk menyuap para hakim. Tak heran bila seorang pujangga sebagaimana yang dikutip
yusuf al Qardawy, menyindir tentang suap dalam kata-katanya:
Jika
anda tidak dapat mendapat sesuatu
Yang
anda butuhkan
Sedangkan anda sangat menginginkan
Maka
kirimlah juruh damai
Dan
janganlah pesan apa-apa
Juruh
damai itu adalah uang
Bagaimanapun juga, seorang hakim yang telah mendapatkan uang
suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan membolak balikkan supremasi
hukum. Apalagi kalau perundang–undangan yang digunakannya hasil buatan manusia,
Mudah sekali baginya untuk megutak atiknya sesuai dengan kehendaknya.
Lama-kelamaan masyarakat terutama golongan kecil tidak akan percaya lagi pada
penegak hukum karna selalu menjadi pihak yang dirugikan.. Dengan demikian,
hukum rimbah yang berlaku,yaitu siapa yang kuat siapa yang menang.
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai
salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.karna perbuatan
tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak
seseorang untuk mendapat perlakuan yang sama didepan hukum. Oleh karena itu,
seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dan dari pihak siapapun
selain gajinya sebagai hakim.
Untuk mengurangi perbuatan suap-menyuap dalam masalah hukum,
jabatan hakim lebih utama diberikan kepada orang yang berkecukupan dari pada
dijabat oleh mereka yang hidupnya serba kekurangan karena kemiskinan seorang
hakim akan mudah membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang bukan
haknya.
Sebenarnya, suap-menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah
hukum saja, tetapi dalam berbagai aktifitas dan kegiatan. dalam beberapa hadis
lainnya, suap-menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum saja, tetapi
bersifat umum, seperti dalam hadis yang Artinya: Dari Abdullah bin Amr,
Rasulullah SAW. Melaknat penyuap dan orang yang disuap(H.R turmudzi)
Misalnya dalam penerimaan tenaga kerja, jika didasarkan pada
besarnya uang suap, bukan pada profesionalisme dan kemanpuan, hal ini diyakini
akan merusak kualitas dan kuantitas hasil kerja, bahkan tidak tertutup
kemugkinan bahwa pekerja tersebut tidak manpu melaksanakan pekerjaan yang
ditugaskan kepadanya, sehingga akan merugikan rakyat.
Begitu juga satu proyek atau tender yang didapatkan melalui suap,
maka pemenang tender akan mengerjakan proyeknya tidak sesuai program atau
rencana sebagaimana yang ada alam gambar, tetapi mengurangi kualitas agar uang
yang dipakai untuk menyuap dapat tertutupi atau tidak merugi. Sehingga tidak
jarang hasil pekerjaan mereka tidak tahan lama atau cepat rusak.
Dengan demikian, kapan dan dimana saja, suap akan menyebabkan
kerugian bagi masyarakat banyak, dengan demikian, larangan Islam untuk menjauhi
suap tidak lain agar manusia terhindar dari kerusakan dan kebinasaan didunia
dan siksa Allah SWT kelak diakhirat.
Sangat disayangkan suap-menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi
penyakit menahun yang sangat sulit disembuhkan bahkan disinyalir sudah
membudaya. Segala aktifitas, baik yang beskala kecil maupun yang berskala besar
tidak terlepas dari suap-menyuap. dengan kata lain,sebagaimana yang diungkapkan
Muh Qurais shihab, masyarakat telah melahirkan budaya yang tadinya
munkar(tidak dibenarkan)dapat menjadi ma’ruf(dikenal dan dinilai baik)apabila
berulang-ulang dilakukan banyak orang. Yang ma’ruf pun dapat menjadi munkar
bila tidak lagi dilakukan orang.
Memenurut Ibn Ismail Al khailani sebagaimana yang dikutif Rachmat
syafe’I,suap diperbolehkan dalam rangka memperoleh sesuatu yang menjadi
haknya.atau untuk mencegah dari kedzaliman,baik yang menimpa dirinya maupun
keluarganya. Hal itu didasarkan pada pendapat tabiin bahwa boleh melakukan suap
jika takut tertimpa dzalim, baik untuk dirinya maupun keluarganya.
Adapun menurut Imam Asy Syaukani bahwa sesunghunya keharaman suap
adalah mutlak dan tidak dapat ditakhsis.namun demikian dalam Islam ada kaidah Al
daruratu tubihu al mahdurat (kemudaratan membolehkan sesuatu yang membahayakan)
Dengan demikian, jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk
menjaga dirinya dari kerusakan, kecuali dengan melakukan suap ia boleh
melakukannya.
Menurut Quraish shihab, argumen para lama di atas tidaklah jelas,
tetapi tampaknya ketika itu mirip dengan keadaan pada masa sekarang. Tanpaknya
budaya sogok-menyogok telah menjamur, sehingga menyulitkan penuntut hak untuk
memperoleh haknya maka lahirlah pendapat yang membolehkan tadi.
Akan tetapi, menurutnya,Ash syaukani mengingatkan bahwa pada
dasarnya tidak mmbolehkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari
seseorang,kecuali engan hati yang tulus, apakah mereka yang memberi pelicin itu
tulus? Dan tidaklah perbuatan tersebut menumbusuburkan praktek suap-menyuap
dalam masyarakat?bukankan dengan memberi walaupun dengan dalih meraih hak yang
sah seseorag telah membantu sipenerimah untuk memperoleh sesuatu yang haram dan
terkutuk. Dengan demikian sipemberi sedikit ataupun banyak menurutnya, telah
pulah menerimah sangsi keharaman dan kutukan atas suap menyuap tersebut.
Dalam Islam suap-menyuap termasuk pelanggaran berat sehingga
Rasulullah SAW telah melaknat para pelaku suap, baik penyuap maupun yang diberi
suap, terutama dalam urusan hukum, selain dalam masalah hukum, dalam
urusan-urusan lainpun tidak diiperbolehkan dalam Islam.
Akan tetapi, menurut sebagian ulama, menyuap dibolehkan dalam
keadaan terpaksa untuk menghindari kecelakaan atau mendapatkan sesuatu hak yang
tidak ada jalan lain, kecuali dengan jalan menyuap.
B.
LARANGAN MENYUAP
Hadis tentang larangan menyuap :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي اَلْحُكْمِ )
رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Artinya : “Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu
berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat penyuap dan
penerima suap dalam masalah hukum. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan
menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Hibban
َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-
قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِيَ
) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ
Artinya : “ Dari
Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap.
Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi
Dalam kedua hadits tersebut di atas telah diterangkan dengan jelas
bahwasanya Allah mengutuk orang yang memberi uang sogok dan yang menerimanya.
وعن عمر وبن مرة قال سمعت رسول الله ص م يقولما من
امام اووال يغلق بابه دون ذويالحاجة ولخلة والمسكنة الا اغلق الله ابواب اسماء دون
خلته وحاجته ومسكنته (رواه احمد و الترمذي )
Artinya : “dan dari ‘ Amr bin Murrah,ai berkata
: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda, tidak seorang imam punatau
penguasa yang menutup pintunya terhadap orang-orang yang berkepentingan,
orang fakir dan miskin, melaikan allah akan menutup pintu-pintu (rizki) dari
langit terhadap kefakirannya,kebutuhannya dan kemiskinanya.(H.R. Akhmad dan
Tirmidzi)
وعن ثوبان قال : لعن رسول الله صل الله عليه واله
وسلم الراشى والمر تشى .والراش.يعن الدى يمس بينهما. رواه احمد
“ Rasulullah mengutuk orang yang memberi uang
sogok dan yang menerimanya dan mereka yang menjadi perantara “.(H.R. Ahmad ;
Al-Muntaqa II: 935)”
Kata
khallah itu sendiri seperti tersebut dalam kitab nihayah artinya ialah
kebutuhan dan kemiskinan. Tetapi kata ini di ma’thufkan (dihubungkan) dengan
kata sebelumnya yaitu “hajah” yang artinya lebih khusus. Dalam istilah nahwu
disebut “athful ‘am ‘alal khas”. Hadits ini menunjukan ketidak halalnya seorang
kepala (penguasa) menutup pintunya terhadap orang-orang yang berkepentingan,
walaupun itu orang yang kafir dan miskin.
C.
SUAP DARI SEGI UNDANG UNDANG
Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1980
Pasal 1
Yang dimaksud dengan
tindak pidana suap di dalam Undang-Undang ini adalah tindak pidana suap di luar
ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Pasal 2
Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap
dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda
sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Pasal 3
Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui
atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan
supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang
berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan
umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3
(tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta
rupiah).
Pasal 4
Apabila tindak pidana tersebut dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dilakukan
di luar wilayah Republik Indonesia, maka ketentuan dalam Undang-Undang ini
berlaku juga terhadapnya.
Pasal 5
Tindak pidana dalam Undang-Undang ini merupakan kejahatan.
Pasal 6
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
D.
SUAP YANG HALAL
Pada dasarnya memberikan suap kepada siapapun hukumnya haram
berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang telah kami
sebutkan di atas. Hal ini karena terkandung di dalamnya banyak unsur
kezholiman, seperti menzholimi hak orang lain, mengambil sesuatu yang bukan
haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, mempengaruhi keputusan hakim
yang merugikan pihak lain dan lain sebagainya.
Akan tetapi hukum suap akan berbeda dan berubah menjadi halal
apabila tidak mengandung unsur kezholiman terhadap hak orang lain sedikit pun.
Seperti memberikan suap untuk mengambil sesuatu dari haknya yang terhalang atau
dipersulit oleh pihak tertentu, atau melakukan suap karena untuk mencegah
bahaya yang lebih besar atau mewujudkan manfaat (yang sesuai dengan syariat)
yang besar. Dalam keadaan seperti ini maka si pemberi suap tidak berdosa dan
tidak terlaknat. Dosa suap menyuap dan laknat Allah tersebut hanya ditimpakan
kepada penerima suap.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim
memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan
keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram.
Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram
(halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.” (Lihat Raudhatu
Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin IV/131).
Maka dari itu, sebagai contoh, apabila ada seseorang sudah ikut
proses penerimaan PNS dengan benar kemudian ia diterima, atau ada seseorang
telah mengajukan permohonan KTP, SIM, PASPOR kepada pihak yang berwenang dengan
syarat-syarat administrasi yang lengkap. Namun pada saat pengambilan hak nomor
NIP tidak bisa keluar, atau SIM, KTP, dan PASPOR tidak dapat diperoleh karena pihak
berwenang meminta sejumlah uang. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya ia
melaporkan kasus tersebut kepada pihak-pihak terkait yang berwenang mengawasi,
menegur dan menjatuhkan sanksi kepada mereka serta memberikan hak kepada para
pemilik hak. Akan tetapi jika seseorang hidup di suatu Negara yang tidak bisa
memberikan jaminan hak kepada yang berhak menerimanya, maka pada kondisi
seperti ini dibolehkan bagi calon PNS, dan orang yang mengajukan permohonan
SIM, KTP dan PASPOR tersebut untuk membayar sejumlah uang kepada pihak
berwenang agar Ia bisa mempunyai NIP dan memperoleh KTP, SIM dan PASPOR. Ia
tidak menzhalimi siapapun, suap tersebut ia lakukan karena terpaksa dan hanya untuk mengambil hak dia
saja. Ia tidak berdosa. Dosa hanya ditimpakan kepada pihak berwenang. Wallahu a’lam bish-showab.
E.
HUKUM GAJI DARI PEKERJAAN YANG DIPEROLEH DARI SUAP
Kita semua telah sepakat
bahwa mendapatkan pekerjaan dengan jalan suap padahal ia tidak berhak
mendapatkannya adalah haram hukumnya. Karena terkandung di dalamnya perbuatan
menzholimi hak orang lain yang semestinya diterima dan mendapatkan pekerjaan
itu namun ia terhalang dan tertolak lantaran ada orang lain yang menyuap
panitia atau pihak penerimaan para karyawan atau pegawai.
Namun yang menjadi
permasalahan di sini, apakah gaji dari pekerjaan yang diperoleh dengan suap itu
juga selamanya haram bagi si pemberi suap atau bisa berubah menjadi halal? Atau
dengan kata lain, apakah suap itu merupakan sesuatu yang terpisah dan dosanya
tidak berpengaruh terhadap status gajinya?
Maka kita katakan, bahwa jika orang
yang memberi suap itu adalah orang yang berhak dan tepat terhadap pekerjaan
yang dibebankan kepadanya itu, maka gaji yang didapatnya adalah HALAL karena gaji itu merupakan
imbalan bagi pekerjaannya. Dan disyaratkan untuk kehalalan gajinya itu adalah
ia bekerja dengan baik dan melakukan tuntutan pekerjaannya. Apabila ia tidak
melaksanakan tuntutan kerja dan tidak bekerja dengan baik, maka hukum gajinya
adalah haram. Karena ia telah menyia-nyiakan amanah pekerjaan yang dibebankan
kepada dirinya.
Namun sebaliknya, jika
si pekerja yang mendapatkan pekerjaan dengan jalan suap itu tidak berhak
diterima karena tidak professional terhadap pekerjaannya dan selama mengemban
amanah kerja, ia tidak pernah menunaikannya dengan baik dan benar, maka hukum
gaji yang diperolehnya itu HARAM.
F. SUAP DAN HADIAH
Hadiah dan suap; dua buah kata yang memiliki
konotasi yang sangat berbeda, namun sering kali kedua kata ini menjadi rancu
dan kabur di masyarakat. Keduanya sering dikonotasikan dengan satu makna; suap,
sebuah kata yang tidak sedap.
Sebuah musibah besar; di negeri ini suap menyuap
dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Bahkan dalam urusan tertentu dianggap
suatu keharusan, sebab tanpa suap maka hamper dipastikan urusan akan jadi rumit
dan berbelit. Ditambah lagi korupsi yang juga sudah jadi pemandangan akrab.
Nyaris di semua instansi; baik pemerintah ataupun swasta, praktek haram ini
kerap selalu terjadi. Padahal jelas sekelai: praktek suap dan korupsi melanggar
larangan hukum maupun agama. Suap dan hadiah memiliki perbedaan antara lain :
a) Suap adalah pemberian yang diharamkan syari’at,
sedangkan hadiah merupakan yang dianjurkan syari’at.
b) Suap diberikan dengan satu syarat yang
disampaikan secara langsung atau tidak langsung ,sedang hadiah diberikan secara
ikhlash tanpa syarat.
c) Suap diberikan untuk mencari muka dan mempermudah
hal bathil sedangkan hadiah untuk silaturrahim dan kasih saying.
d) Suap dilakukan secara sembunyi-sembunyi berdasar
tuntut menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati, sedang hadiah diberikan
atas sifat kedermawanan.
e) Biasanya Suap diberikan sebelum suatu pekerjaan,
sedang hadiah setelahnya
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Melihat
dari pemaparan sebelumya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Suap (sogok) dalah
perbuatan yang dicelah oleh Islam dan disepakati oleh para ulama sebegai
perbuatan haram. Suap adalah sebuah perbuatan yang berpotensi merusak sistem
yang ada dalam masyarakat karena sogok dapat berpengaruh pada keputusan yang
diambil para penegak hukum.
B.
Saran
Demikian
makalah dari kami, Semoga dengan makalah ini dapat menjadi bahan untuk
pemanasan di dalam diskusi kuliah hadist ahkam pidana dan politik islam.
Terimakasih.
Daftar Pustaka
Ø Hamidy Mu’ammal Drs,dkk, Terjamahan Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits
Hukum, Surabaya :PT. Bina ilmu, 1986.
Ø Rahmat Yafe’I Al hadis, Akidah, social dan Humum. cet II.Bandung: Pustaka setia, 2003.
Ø Terjamah dari departemen agama
Ø Yusuf Qardawy, Fatwa-Fatwa Kontengporer, Jakarta : Gema Insani Pres,1988.
Ø Muhammad Qurais Shihab, Lentera Hati Kisah Dan Hikmah Kehidupan: 1994, Bandung: Mizan.
'> (Q.S. an-Nisa : 24)[10]Ø Rahmat Yafe’I Al hadis, Akidah, social dan Humum. cet II.Bandung: Pustaka setia, 2003.
Ø Terjamah dari departemen agama
Ø Yusuf Qardawy, Fatwa-Fatwa Kontengporer, Jakarta : Gema Insani Pres,1988.
Ø Muhammad Qurais Shihab, Lentera Hati Kisah Dan Hikmah Kehidupan: 1994, Bandung: Mizan.
- Q.S. al-Mu’minun [23] : 5-6
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ(5)إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”,
“Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
Dalam surat al-Mu’minun
: 5-6, tidak disebut mut’ah, sehingga dengan demikian ayat ini melarangnya atau
dengan kata lain nikah mut’ah tidak menjadi sebagai salah satu cara yang
dibenarkan untuk menyalurkan nafsu seksual.
Hadits Nabi tentang Nikah Mut’ah
1. H.R
Hasan, Thabrani
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْرٍ السَّـاعِدِى قَالَ :
إِنَّمَـا رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فيِ الْمُتْعَةِ لِحَاجَةٍ كَانَتْ
بِالـنَّاسِ شَرِيْرَةٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَابَعْرُ (رواه حسن الطبرا نى)
“Dari
Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata : “tidak lain Nabi memberi kelonggaran
tentang mut’ah itu melainkan karena satu keperluan yang sangat mengenai
orang-orang, lalu sesudah itu Nabi larang”. (H.R. Hasan, Thabrani)
2. H.R
Ahmad dan Muslim
عَنْ سُبْرَةَ الْجُهَنِيِّ أَنَّـهُ كَانَ
مَعَ النَّبِيِّ ص.م. فقال: يَـاآيُّـهَاالنَّـاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ
فِىاْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَمَ ذَلِكَ اِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ
سَبِيْلَهُ وَلاَ تَـاءْ خُرُوْ مِمَّااَتَيْتُمُوْ هُنَّ شَيْئًا (رواه احمد
ومسلم)
“Dari
Saburah al-Juhani bahwa ia pernah berpegang bersama Rasulullah S.a.w dalam
menaklukkan Mekkah, Rasulullah kemudian bersabda : Saudara-saudara sekalian!
Sesungguhnya Aku dahulu mengizinkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ingatlah!
Sesungguhnya (mulai hari ini) Allah telah melarangnya hingga hari kiamat nanti,
lantaran itu barang siapa yang ada padanya wanita nikah mut’ah, hendaklah
ceraikan dia dan janganlah kamu ambil satu pun dari apa-apa yang kamu telah
berikan kepada mereka.” (H.R. Ahmad dan Muslim
Pendapat para ulama tentang Nikah Mut’ah
1. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah
Dalam
kitabnya Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, menyatakan tidak ada satupun ayat
al-Qur’an yang membolehkan pernikahan mut’ah. Kaum Sunni tidak saja mengikuti
pendapat Umar bin Khattab, tapi juga seluruh Khulafaur Rasyidin termasuk
sahabat Ali r.a yang oleh kalangan syi’ah dimuluskan (tidak sepengetahuan
sahabat Ali r.a itu sendiri). Anehnya, kaum Syi’ah justru membolehkannya, padahal
Ali r.a melarangnya, tidak menyetujui.
2. Ulama
Sunni
Ulama
Sunni menilai walaupun terdapat perbedaan tentang masalah dibatalkannya, namun
yang jelas bahwa keseluruhan riwayat tersebut sepakat menyatakan dilarangnya
nikah mut’ah, dengan demikian tidak perlu dipersoalkan lagi tentang waktu
pelarangannya, yang penting adalah larangannya.
BAB IV
Khulu’ atau Fasakh
A. Pembahasan
Syariat
islam menjadikan al-khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian
konflik rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu
bagaimana status al-khulu’ bila telah ditetapkan, apakah dihitung sebagai cerai
atau fasakh (pembatalan akad nikah)?
Para ulama, dalam hal ini, berselisih pendapat
dalam beberapa pendapat:
1.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak bain dan ini adalah
pendapat Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i dalam Qaul Jadid.
2.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak raj’i. Ini adalah pandapat
Ibnu Hazm.
3.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah fasakh (penghapusan akad nikah)
bukan talak. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah, dan Daud
az-Zahiri. [1] Juga zahir Mazhab Ahmad bin Hambal dan mayoritas ahli Fikih yang
muhaddits (fuqaha’ hadits).
Syekhul Islam
menyatakan, “Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf
dan khalaf. Zahir Mazhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan bahwa (al-khulu’)
adalah faskh nikah dan bukan talak yang tiga. Seandainya suami mengkhulu’
sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahi istrinya dengan akad nikah baru
sebelum menikah dengan selainnya. Ini adalah salah satu pendapat Syafi’i dan
pendapat mayoritas fuqaha’ ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur,
Daud, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas
dan sahabat-sahabat beliau, seperti Thawus dan ‘Ikrimah.
Pandapat yang rajih adalah pendapat ketiga,
dengan dalil sebagai berikut:
Dalil pertama, firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ
أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ
شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن
بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Talak (yang dapat
dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang
zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali, jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al-Baqarah:
229–230)
Dalam ayat yang mulia
ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan talak dua kali,
kemudian menyebutkan al-khulu’, kemudian diakhiri dengan firman-Nya,
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ
Seandainya al-khulu’
adalah talak, tentunya jumlah talaknya menjadi empat dan talak yang tidak halal
lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat.
Demikianlah yang
dipahami oleh Ibnu Abbas dari ayat di atas.
Beliau pernah ditanya
tentang seorang yang mentalak istrinya dua kali, kemudian sang istri melakukan
gugatan cerai (al-khulu’). Apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau menjawab,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan talak di awal
ayat dan diakhirnya, serta al-khulu’ di antara keduanya. Dengan demikian,
al-khulu’ bukanlah talak. (Oleh karena itu,) ia boleh menikahinya.
(Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf: 6/487 dan Sa’id
bin Manshur (1455) dengan sanad shahih)
Dalil kedua, hadits
ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berbunyi,
أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
“Beliau melakukan
al-khulu’ pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya –atau dia diperintahkan– untuk menunggu satu
kali haidh.” (Hr. at-Tirmidzi; dinilai shahih oleh al-Albani dalam
at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/275).
Seandainya al-khulu’
adalah talak, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu haid.
Dalil ketiga, pernyataan Ibnu
Abbas,
مَا أَجَازَهُ الْمَالُ فَلَيْسَ بِطَلاَقٍ
“Semua yang dihalalkan oleh harta bukanlah
talak.” (Diriwayatkan
oleh Abdurrazaq dalamal-Mushannaf, no. 11767)
Dalil keempat, hal ini sesuai
tuntutan kaidah syariat, karena iddah (masa menunggu wanita yang ditalak)
dijadikan tiga kali haid agar masa tenggang untuk rujuk menjadi lama, lalu
suami perlahan-lahan (berpikir) serta memungkinkannya untuk rujuk dalam masa
tenggang iddah tersebut. Apabila pada al-khulu’ tidak ada kebolehan untuk
rujuk, maka maksudnya adalah sekadar untuk memastikan bahwa rahim tidak berisi
janin (sang wanita tidak hamil, ed), dan itu cukup dengan sekali haid saja,
seperti al-istibra’.
Dalil kelima,
asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa yang
menunjukkan bahwa al-khulu’ bukanlah talak adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala
menetapkan tiga hukum setelah talak yang tidak ada dalam al-khulu’, yaitu:
1.
Suami lebih berhak diterima rujuknya.
2.
Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna
bilangan tersebut hingga sang wanita menikahi suami baru dan berhubungan
suami-istri dengannya.
3.
Iddahnya tiga quru’ (haid).
Padahal, telah
ditetapkan dengan nash dan ijma’ bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu’.
Pendapat ini dirajihkan
oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, asy-Syaukani, Syekh Muhammad bin Ibrahim, Syekh
Abdurrahman as-Sa’di, serta Syekh al-Albani.
Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah menyatakan, “Pendapat yang telah kami jelaskan, yaitu al-khulu’ adalah
fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafal apa pun adalah yang
shahih yang ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya
seorang lelaki memisah istrinya dengan tebusan (al-khulu’) sebanyak beberapa
kali, ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafal talak atau selainnya.”
Syekh Abdurrahman bin
Nashir as-Sa’di menyatakan, “Yang shahih adalah bahwa khulu’ tidak terhitung
sebagai talak, walaupun dengan lafal talak dan niatnya, karena Allah menjadikan
tebusan bukan talak dan itu umum, baik dengan lafal talak yang khusus atau
dengan lafal lainnya, dan karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya,
bukan lafal dan susunan katanya.”
Sedangkan Syekh
al-Albani menyatakan, “Dan yang benar adalah bahwa fasakh sebagaimana yang
dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syekhul Islam dalam al-Fatawa.”
B.
Hasil dan Konsekuensi Masalah Ini
Masalah al-khulu’ yang
merupakan fasakh bukan talak akan memberikan beberapa hukum sebagai
konsekuensinya, di antaranya:
- Tidak dianggap dalam hitungan
talak yang tiga. Sehingga seandainya seorang mengkhulu’ setelah melakukan
dua kali talak, maka ia masih diperbolehkan menikahi istrinya tersebut,
walaupun al-khulu’nya terjadi lebih dari sekali. Sebagaimana dijelaskan
Syekhul Islam di atas.
- Iddah atau masa menunggunya
hanya sekali haid, dengan dasar hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz tang
telah disampaikan di atas. Ini dikuatkan pula dengan hadits Ibnu Abbas
yang berbunyi,
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ
اخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِدَّتَهَا حَيْضَةً
“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais meminta talak (al-khulu’)
darinya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali
haid.” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu
Daud, no. 2229)
Inilah pendapat Utsman bin ‘Affan, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas,
Ishaq, Ibnu al-Mundzir, dan riwayat dari Ahmad bin Hambal. Inilah yang
dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
- Al-Khulu’ diperbolehkan dalam
setiap waktu, walaupun dalam keadaan haid atau suci yang telah dipergauli,
karena al-khulu’ disyariatkan untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa
wanita dengan sebab tidak baiknya pergaulan sang suami atau tinggal
bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang
melakukan al-khulu’.