Wavy Tail Batman Begins - Diagonal Resize 2

burung

Rabu, 07 Mei 2014

NUSYUS Khulu’ atau Fasakh MUT’AH TAKLIK TALAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM


BAB I
NUSYUS

A.    Pengertian Nusyuz
Secara etimologi lafad  Nusyuz adalah akar (Masdar) dari lafad  Nusyaza, Yansyuzu, dalam arti: terangkat, lafad Nusyuz diambil dari lafad Nasyzi, yang berarti sesuatu yang terangkat dari Bumi.
Nusyuz secara terminologi adalah suatu fenomena yang sebenarnya berasal dari perempuan, tetapi ada kalanya juga ditimbulkan dari laki-laki, walaupun bisa jadi berawal dari keduanya dengan saling menuduh dan saling menghujat terhadap salah satunya. Ulama Fiqh mengartikulasikan Nusyuz dengan pengertian yang lebih umum, mereka berpendapat bahwa Nusyuz kemungkinan bisa dari pihak istri atau suami dengan melihat konteks ayat diatas.
Nusyuz adalah konklusi yang tidak bisa dihindari dari pertikaian pertikaian besar yang menimpa pasangan suami istri. Telah diketahui, bahwa manakala pertikaian-pertikaian berjalan cukup lama, ia pun akan menjadi semakin gawat dan melahirkan suasana kebencian serta permusuhan yang kadang kala pada klimaksnya sampai pada keberpalingan. Dari kasus semacam ini yang kemudian muncul adalah kata  Nusyuz, yaitu keluarnya suami istri atau salah satunya dari tugas dan kewajibannya, dan dia tidak melaksanakannya karena keengganan dan tidak mau patuh.
B.     Bentuk-Bentuk Dan Ciri-Ciri Nusyuz
Nusyuz mempunyai ciri-ciri dan keadaan-keadaan yang telah dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an. Keadaan Pertama, pendurhakaan yang dilakukan istri : Al Qur’an menyebutkan keadaan seperti ini dan menjelaskan bagaimana menyikapi dan sekaligus pula penyelesaiannya. Keadaan Kedua, bentuk  Nusyuznya suami. Keadaan Ketiga, adalah  Nusyuz dari kedua belah pihak.
a.       Nusyuz dari Seorang Istri
Nusyuz dari pihak istri adalah bahwa sang suami terlepas dari tanggung jawabnya, dan bahwa istrinyalah yang keluar dari bingkai kepatuhan, atau melakukan sesuatu yang dibenci. Dan dialah yang kemudian akan menanggung akibat Nusyuznya, bukan suaminya, sebagai firman Allah Surat An Nisa’ ayat 34 diatas. Ibnu Taimiyah sebagai mana dikutip oleh Shalih bin Ghanim dalam kesalahan-kesalahan istri berpendapat bahwa Nusyuz adalah bentuk pendurhakaan istri terhadap suami kemudian lari dari suami dengan arti tidak taat padanya ketika sang suami menginginkannya untuk melakukan persetubuhan, atau keluar dari rumah tanpa seizinnya maupun perbuatan yang lain, karena kesemuanya itu berarti ketidakmauan istri untuk melakukan kewajibannya untuk taat pada suami.
Dengan melihat definisi yang dipaparkan Ibnu Taimiyah, para ahli fiqh mengklasifikasikan Nusyuznya isteri pada empat poin.
1.         Meninggalkan berhias di hadapan suami sedangkan suami    menginginkannya.
2.         Melakukan pisah ranjang dan menolak untuk menanggapi panggilannya.
3.         Keluar dari rumah tanpa seijin suami atau tanpa hal Syar’i.
4.         Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya seperti Shalat, Puasa Ramadhan.
b.      Nusyuz dari Pihak Suami
Nusyuz dari pihak suami adalah sesuatu yang sangat frontal dan  berbahaya. Paling tidak, ia akan berpengaruh buruk terhadap kebahagiaan rumah tangga dan bahkan bisa meruntuhkannya. Dan bahwa, peristiwaperistiwa yang tidak di inginkan dan yang ditimbulkannya lebih banyak dari pada yang di timbulkan oleh Nusyuz istri.
Sebagai Firman Allah Q.S. An Nisa’ : 128. Hal ini benar, mengingat suami seperti yang kita ketahui, adalah kepala dan tiang penyangga rumah tangga. Dialah yang mengatur roda keluarga dan di tangan suamilah tanggung jawab tergenggam. Nusyuz dari suami bisa berbentuk ucapan maupun perbuatan ataupun kedua-duanya secara bersamaan. Sebagai contoh, suami memutuskan pembicaraan dan komunikasi terhadap istri tanpa alasan yang jelas. Dari uraian diatas dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Nusyuz dari suami mempunyai beberapa dimensi pembahasan dalam istilah syara’: 
·         Perlakuan congkak, sombong, dan acuh tak acuh yang ditonjolkan oleh suami terhadap istrinya.
·         Memusuhi dengan memukul, menyakiti, menyakiti dan melakukan hubungan yang tidak baik.
·         Tidak melaksanakan kewajibannya memberi nafkah.
·         Memperlakukan istri dengan keras dengan melakukan pisah ranjang dan menolak berbicara, dll.
c.       Nusyuz dari kedua pihak suami dan istri
Pendurhakaan, perpecahan, perselisihan dan interaksi yang buruk dari kedua belah pihak baik suami maupun istri bisa membawa pada persengketaan dan kehancuran. Hal itu mengakibatkan dampak negatif yang tidak hanya terhadap suami maupun istri, namun juga menjalar terhadap keluarga, anak-anak dan komunikasi masyarakat dalam skala yang lebih jelas. Contohnya kebencian yang berasal dari salah satu diantara mereka untuk melakukan komunikasi terhadap pasangannya.

BAB II
TAKLIK TALAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.    Pengertian Taklik Talak
Taklik talak berasal dari dua kata yaitu taklik dan talak. Menurut bahasa talak atau ithlaq berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.
Taklik atau muallak artinya bergantung. Dengan demikian pengertian taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan kepada suatu syarat. Atau taklik talak adalah talak yang digantungkan terjadinya terhadap suatu peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian.  Atau taklik talak adalah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dulu. Atau menggantungkan  jatuhnya talak dengan terjadinya hal yang disebutkan setelah akad nikah. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara.

B.     Dasar Hukum Taklik Talak
  1. Qur’an surat An Nisa ayat 128
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap  tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian      yang sebenar - benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik kembali 
  1. KHI pasal 45 dan 116
Kompilasi hukum islam berbunyi : Kedua calon mempelai dapat mengadakan perkawinan dalam bentuk :
a)      Taklik talak.
b)      Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Alasan perceraian menurut KHI pasal 116 adalah sebagai berikut :
·         Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
·         Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
·         Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5 tahun atau lebih berat setelah perkawinannya berlangsung.
·         Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
·         Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri.
·         Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga.
·         Suami melanggar taklik talak.
·         Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga

C.    Macam-Macam Taklik Talak
Taklik talak ada dua macam yaitu:
Ø  Taklik qasami adalah taklik yang dimaksudkan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar.
Ø  Taklik syarthi adalah taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak jika telah terpenuhi syaratnya.
Adapun syarat sahnya talak taklik ada tiga yaitu:
  • Perkaranya belum ada tetapi mungkin terjadi di kemudian hari.
  • Hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak.
  • Ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharan suami.
Perkara yang mungkin terjadi kemudian adalah perkara yang tidak terjadi ketika taklik talak diucapkan,Serta bukan suatu perkara yang mustahil terjadi.  Jika perkara yang ditaklikkan itu hal mustahil terjadi maka hanya dipandang main-main. Demikian halnya saat pengucapan taklik talak dan ketika perkara yang ditaklikkan terjadi istri ada dalam pemeliharaan suami. Dalam arti talak hanya berlaku bagi mereka yang memiliki ikatan perkawuinan tidak dibenarkan seorang laki-laki mengucapkan talak kepada perempuan yang bukan istrinya.

D.    Perbedaan Pendapat Tentang Taklik Talak
Menurut Ibnu Hazm dua jenis taklik talak di atas (taklik qasami dan taklik syarthi) keduanya tidak sah dan ucapannya tidak mengandung akibat apa-apa, dengan alasan bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan taklik talak tidak ada tuntunannya dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunah. Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim berpendapat bahwa taklik talak yang berarti janji dipandang tidak berlaku sedang orang yang mengucapkannya wajib membayar kafarat dengan memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka dan jika tidak,maka ia wajib berpuasa selama tiga hari. Mengenai  talak bersyarat keduanya berpendapat bahwa talak bersyarat dianggap sah, apabila yang dijadikan persyaratan telah terpenuhi

BAB III
MUT’AH
KAWIN KONTRAK

A.    Pengertian Nikah Mut’ah
Menurut philology bahasa dikatakan, bahwa ini bertema dengan rumpun kata kawan, yang berarti teman, sahabat, sehingga kawin mengandung arti yang sama. Perbedaannya hanya kawin dengan “A” dan pada kawin dengan “I”. ini memberi arti yang sedikit berbeda dan membawa arti yang lebih mendalam. Dalam Islam, sebenarnya kawin hendaklah mengetahui calon pasangannya sekalipun tanpa persahabatan. Dan harus berdasarkan suka sama suka tidak ada paksaan dari siapapun.  Tidak pula boleh di sebabkan oleh sesuatu problema sebelumnya yang menjadikan perkawinan itu terpaksa di lakukan.
Perkawinan Islam bukan semata hubungan jasmani untuk kemaslahatan hawa nafsu dan bersifat sementara di waktu diperlukan belaka. Selain itu bahwa perkawinan adalah melestarikan hidup duniawi dengan melahirkan keturunan yang menyusul untuk menjayakan bumi Allah.
Perkawinan dalam Islam dinamakan “Zawaj” atau “Nikah”, artinya pasangan dalam arti dua mahkluk di jadikan pasangan hidup. Ada juga yang mengartikan bahwa nikah adalah akad yang mengikat dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang menghalalkan dua jenis manusia untuk hidup secara halal dalam hubungan yang sah secara mendalam dimana mendapat persetubuhan yang menjaga hawa nafsu, mata dan fikiran dari sikap yang menjerumuskan dan membahayakan.
Kata mut’ah di artikan kesenangan atau hiburan. Dilihat dari arti bahasa ini, maka mut’ah artinya pernikahan semata-mata untuk tujuan hiburan, memuaskan syahwat. Dalam arti istilah mut’ah ialah perkawinan sementara dengan tujuan semata-mata mencari kepuasan seksual bagi pihak laki-laki dan pihak wanita. Bagi pihak wanita boleh jadi bisa di jadikan perkawinannya. Setelah masa perkawinannya usai, dengan sendirinya ikatan itupun terputus, pihak wanita mendapatkan upah.
Jadi nikah mut’ah adalah nikah yang di lakukan seseorang dengan tujuan semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah tersebut dilarang karena di lakukan untuk waktu yang terbatas dan tujuannya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yang di syari’atkan.
B.     Syarat Mut’ah
Ketika Islam belum turun, nikah mut’ah ternyata sudah membudaya di masyarakat. Pada saat itu syariat Islam belum melarangnya. Hikmahnya ialah supaya aqidah Islam meresap dahulu, baru setelah pemahaman aqidah meresap larangan mut’ah diberlakukan.
Seluruh kaun muslimin sepakat bahwa Islam telah menghalalkan pernikahan mut’ah selama beberapa hari pada peristiwa penaklukan kota Makkah yaitu selama tiga hari saja (Nabi yang Agung dan selalu menjaga kemaluan menghalalkan pernikahan mut’ah kepada para sahabatnya untuk bermut’ah), yang terjadi pada tahun ke-5 H.[5] Sesuai sabda Rasul :
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلاَكْوَعٍ رَضِيَ اللهُ قَـالَ : رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. مَـامَ اَوْطَاسٍ فِىالْمُتْعَةِ ثَلاَثَةَ أَيَّـامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)
Dari Salamah bin al-Akwa, r.a, ia berkata: Pernah Rasulullah S.a.w membolehkan perkawinan mut’ah pada hari (peperangan) authas selama tiga hari, kemudian sesudah itu Ia larang”. (H.R. Muslim)

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَـالَ : إِنَّـمَاكَانَتِ الْمُتْعَةُ فِىاَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى أَنَّهُ يُقِيْمُ فَنَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ وَتُصْلِحُ لَهُ سَاءْ نَهُ (رواه الترمذى)
“Dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adakah kawin mut’ah pada awal Islam, ialah seorang laki-laki masuk ke satu negeri yang tidak ada baginya di jalin kenalan, lalu ia kawin kepada seorang wanita sekedar masa yang ia rasa, bahwa ia akan tinggal disana, maka wanita itu pelihara barang-barangnya dan mengurus keperluannya”. (H.R. Tirmidzi

Melihat dari sejarah di atas, maka Golongan syi’ah mengartikan dan menyimpulkan bahwa nikah mut’ah itu boleh di lakukan bagi umat Islam, sesuai apa yang telah diperbolehkan tanpa memahami setelah itu Rasul melarangnya. Di sini akan dibahas sedikit di kalangan Syi’ah tentang nikah mut’ah.
C.    Nikah Mut’ah Halal di Kalangan Syi’ah
      Menurut syi’ah, mut’ah tidak boleh di lakukan kembali oleh orang yang mengetahui dengan benar. Maksudnya percaya dengan riwayat-riwayat bohong yang mengatas-namakan ucapan ahli bait dan yang mengetahui kebebasan seks. Jika ia percaya pada hal itu, halal baginya nikah mut’ah. Sementara terhadap orang yang tidak mengetahuinya haram.
      Nikah mut’ah yang berlaku di kalangan syi’ah ialah dengan batas waktu yang jelas dan dengan imbalan upah yang jelas pula. Ketentuan ini secara otomatis batal setelah masa yang telah ditentukan itu berakhir. Adapun mengenai sighad (akad) nikah mut’ah adalah seperti yang diriwayatkan dari Abban bin Thaghlib, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu Abdullah : “Apa yang akan aku katakan kepada perempuan bila aku bersunyi-sunyian dengannya? Ia menjawab : kamu mengatakan : Aku menikahimu secara mut’ah atas dasar Kitabullah dan sunnah Nabi, tidak waris-mewarisi, selama sekian hari dan jika kamu menghendaki, untuk sekian tahun, dengan imbalan sekian dirham. Kamu sebutkan imbalannya menurut yang telah disepakati, sedikit atau banyak. Jika ia mengatakan ya, berarti dia rela dan ia telah menjadi istrimu.

D.    Hukum Nikah Mut’ah
Menurut sumber jelas sekali, hukum nikah mut’ah itu haram, lain lagi dengan faham syi’ah. Mereka membolehkan nikah mut’ah sebagaimana pendapat umum mengetahuinya. Tentu saja mereka beralasan pula, bahkan menggunakan ayat dan hadits sebagai alasannya.
Pembenaran pemahaman mut’ah didasarkan atas tafsir keliru, yaitu penggunaan ke-24 dari surat an-Nisa’, yang artinya : “Kalau kamu melakukan nikah mut’ah, maka bayarlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban”. Ayat ini sengaja dipenggal supaya maknanya tidak sama dengan tafsiran jumhur ulama Sunni. Padahal ayat ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan nikah mut’ah, akan tetapi membicarakan soal mahar bagi istri yang sah di nikahi.
Imam al-Qurthubi, seorang ulama Sunni menulis dalam tafsirnya bahwa Q.S. an-Nisa’ : 24, dipahami oleh mayoritas ulama sebagai izin melakukan nikah mut’ah, tetapi itu pada awal masa Islam dan izin tersebut telah di cabut atau dibatalkan. Memang sekian banyak hadits sahih yang membuktikan bahwa nikah mut’ah pernah di lakukan oleh para sahabat Nabi dan beliau tidak melarangnya, namun kemudian dibatalkan.
Hukum Nikah Mut’ah yang terdapat dalam Nas al-Qur’an
  1. Q.S. al-Baqarah [2] : 241
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ  (البقراة : 241)
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Q.S. al-Baqarah : 24).[9]
  1. Q.S. an-Nisa’ [4] : 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا مَلَـكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَـكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلـِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِـكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُـوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (النـساء : 24)
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki*b (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian*c (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.*d Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. an-Nisa : 24)[10]
  1. Q.S. al-Mu’minun [23] : 5-6
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”,
“Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
Dalam surat al-Mu’minun : 5-6, tidak disebut mut’ah, sehingga dengan demikian ayat ini melarangnya atau dengan kata lain nikah mut’ah tidak menjadi sebagai salah satu cara yang dibenarkan untuk menyalurkan nafsu seksual.
Hadits Nabi tentang Nikah Mut’ah
1.      H.R Hasan, Thabrani
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْرٍ السَّـاعِدِى قَالَ : إِنَّمَـا رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فيِ الْمُتْعَةِ لِحَاجَةٍ كَانَتْ بِالـنَّاسِ شَرِيْرَةٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَابَعْرُ (رواه حسن الطبرا نى)
Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata : “tidak lain Nabi memberi kelonggaran tentang mut’ah itu melainkan karena satu keperluan yang sangat mengenai orang-orang, lalu sesudah itu Nabi larang”. (H.R. Hasan, Thabrani)



2.      H.R Ahmad dan Muslim
عَنْ سُبْرَةَ الْجُهَنِيِّ أَنَّـهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ ص.م. فقال: يَـاآيُّـهَاالنَّـاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِىاْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَمَ ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ وَلاَ تَـاءْ خُرُوْ مِمَّااَتَيْتُمُوْ هُنَّ شَيْئًا (رواه احمد ومسلم)
Dari Saburah al-Juhani bahwa ia pernah berpegang bersama Rasulullah S.a.w dalam menaklukkan Mekkah, Rasulullah kemudian bersabda : Saudara-saudara sekalian! Sesungguhnya Aku dahulu mengizinkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ingatlah! Sesungguhnya (mulai hari ini) Allah telah melarangnya hingga hari kiamat nanti, lantaran itu barang siapa yang ada padanya wanita nikah mut’ah, hendaklah ceraikan dia dan janganlah kamu ambil satu pun dari apa-apa yang kamu telah berikan kepada mereka.” (H.R. Ahmad dan Muslim
Pendapat para ulama tentang Nikah Mut’ah
1.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Dalam kitabnya Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, menyatakan tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang membolehkan pernikahan mut’ah. Kaum Sunni tidak saja mengikuti pendapat Umar bin Khattab, tapi juga seluruh Khulafaur Rasyidin termasuk sahabat Ali r.a yang oleh kalangan syi’ah dimuluskan (tidak sepengetahuan sahabat Ali r.a itu sendiri). Anehnya, kaum Syi’ah justru membolehkannya, padahal Ali r.a melarangnya, tidak menyetujui.
2.      Ulama Sunni
Ulama Sunni menilai walaupun terdapat perbedaan tentang masalah dibatalkannya, namun yang jelas bahwa keseluruhan riwayat tersebut sepakat menyatakan dilarangnya nikah mut’ah, dengan demikian tidak perlu dipersoalkan lagi tentang waktu pelarangannya, yang penting adalah larangannya.


BAB IV

Khulu’ atau Fasakh

 

A. Pembahasan

Syariat islam menjadikan al-khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimana status al-khulu’ bila telah ditetapkan, apakah dihitung sebagai cerai atau fasakh (pembatalan akad nikah)?

Para ulama, dalam hal ini, berselisih pendapat dalam beberapa pendapat:
1.      Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak bain dan ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i dalam Qaul Jadid.
2.      Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak raj’i. Ini adalah pandapat Ibnu Hazm.
3.      Pendapat bahwa al-khulu’ adalah fasakh (penghapusan akad nikah) bukan talak. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah, dan Daud az-Zahiri. [1] Juga zahir Mazhab Ahmad bin Hambal dan mayoritas ahli Fikih yang muhaddits (fuqaha’ hadits).
Syekhul Islam menyatakan, “Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zahir Mazhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan bahwa (al-khulu’) adalah faskh nikah dan bukan talak yang tiga. Seandainya suami mengkhulu’ sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahi istrinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan selainnya. Ini adalah salah satu pendapat Syafi’i dan pendapat mayoritas fuqaha’ ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Daud, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat beliau, seperti Thawus dan ‘Ikrimah.
Pandapat yang rajih adalah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut:
Dalil pertama, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 229–230)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan talak dua kali, kemudian menyebutkan al-khulu’, kemudian diakhiri dengan firman-Nya,
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ
Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentunya jumlah talaknya menjadi empat dan talak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat.
Demikianlah yang dipahami oleh Ibnu Abbas dari ayat di atas.
Beliau pernah ditanya tentang seorang yang mentalak istrinya dua kali, kemudian sang istri melakukan gugatan cerai (al-khulu’). Apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau menjawab, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan talak di awal ayat dan diakhirnya, serta al-khulu’ di antara keduanya. Dengan demikian, al-khulu’ bukanlah talak. (Oleh karena itu,) ia boleh menikahinya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf: 6/487 dan Sa’id bin Manshur (1455) dengan sanad shahih)
Dalil kedua, hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berbunyi,
أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
Beliau melakukan al-khulu’ pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya –atau dia diperintahkan– untuk menunggu satu kali haidh.” (Hr. at-Tirmidzi; dinilai shahih oleh al-Albani dalam at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/275).
Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu haid.
Dalil ketiga, pernyataan Ibnu Abbas,
مَا أَجَازَهُ الْمَالُ فَلَيْسَ بِطَلاَقٍ
“Semua yang dihalalkan oleh harta bukanlah talak.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalamal-Mushannaf, no. 11767)
Dalil keempat, hal ini sesuai tuntutan kaidah syariat, karena iddah (masa menunggu wanita yang ditalak) dijadikan tiga kali haid agar masa tenggang untuk rujuk menjadi lama, lalu suami perlahan-lahan (berpikir) serta memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila pada al-khulu’ tidak ada kebolehan untuk rujuk, maka maksudnya adalah sekadar untuk memastikan bahwa rahim tidak berisi janin (sang wanita tidak hamil, ed), dan itu cukup dengan sekali haid saja, seperti al-istibra’.
Dalil kelima, asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa yang menunjukkan bahwa al-khulu’ bukanlah talak adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan tiga hukum setelah talak yang tidak ada dalam al-khulu’, yaitu:
1.      Suami lebih berhak diterima rujuknya.
2.      Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga sang wanita menikahi suami baru dan berhubungan suami-istri dengannya.
3.      Iddahnya tiga quru’ (haid).
Padahal, telah ditetapkan dengan nash dan ijma’ bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu’.
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, asy-Syaukani, Syekh Muhammad bin Ibrahim, Syekh Abdurrahman as-Sa’di, serta Syekh al-Albani.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Pendapat yang telah kami jelaskan, yaitu al-khulu’ adalah fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafal apa pun adalah yang shahih yang ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisah istrinya dengan tebusan (al-khulu’) sebanyak beberapa kali, ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafal talak atau selainnya.”
Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menyatakan, “Yang shahih adalah bahwa khulu’ tidak terhitung sebagai talak, walaupun dengan lafal talak dan niatnya, karena Allah menjadikan tebusan bukan talak dan itu umum, baik dengan lafal talak yang khusus atau dengan lafal lainnya, dan karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafal dan susunan katanya.”
Sedangkan Syekh al-Albani menyatakan, “Dan yang benar adalah bahwa fasakh sebagaimana yang dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syekhul Islam dalam al-Fatawa.”

B.     Hasil dan Konsekuensi Masalah Ini
Masalah al-khulu’ yang merupakan fasakh bukan talak akan memberikan beberapa hukum sebagai konsekuensinya, di antaranya:
  1. Tidak dianggap dalam hitungan talak yang tiga. Sehingga seandainya seorang mengkhulu’ setelah melakukan dua kali talak, maka ia masih diperbolehkan menikahi istrinya tersebut, walaupun al-khulu’nya terjadi lebih dari sekali. Sebagaimana dijelaskan Syekhul Islam di atas.
  2. Iddah atau masa menunggunya hanya sekali haid, dengan dasar hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz tang telah disampaikan di atas. Ini dikuatkan pula dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi,
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِدَّتَهَا حَيْضَةً
“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais meminta talak (al-khulu’) darinya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haid.” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud, no. 2229)
Inilah pendapat Utsman bin ‘Affan, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, Ishaq, Ibnu al-Mundzir, dan riwayat dari Ahmad bin Hambal. Inilah yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
  1. Al-Khulu’ diperbolehkan dalam setiap waktu, walaupun dalam keadaan haid atau suci yang telah dipergauli, karena al-khulu’ disyariatkan untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa wanita dengan sebab tidak baiknya pergaulan sang suami atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang melakukan al-khulu’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar