BAB I
NUSYUS
A.
Pengertian Nusyuz
Secara etimologi lafad Nusyuz adalah akar (Masdar) dari lafad Nusyaza, Yansyuzu, dalam arti: terangkat,
lafad Nusyuz diambil dari lafad Nasyzi, yang berarti sesuatu yang terangkat
dari Bumi.
Nusyuz secara terminologi adalah suatu
fenomena yang sebenarnya berasal dari perempuan, tetapi ada kalanya juga
ditimbulkan dari laki-laki, walaupun bisa jadi berawal dari keduanya dengan
saling menuduh dan saling menghujat terhadap salah satunya. Ulama Fiqh
mengartikulasikan Nusyuz dengan pengertian yang lebih umum, mereka berpendapat
bahwa Nusyuz kemungkinan bisa dari pihak istri atau suami dengan melihat
konteks ayat diatas.
Nusyuz adalah konklusi yang tidak bisa
dihindari dari pertikaian pertikaian besar yang menimpa pasangan suami istri.
Telah diketahui, bahwa manakala pertikaian-pertikaian berjalan cukup lama, ia
pun akan menjadi semakin gawat dan melahirkan suasana kebencian serta
permusuhan yang kadang kala pada klimaksnya sampai pada keberpalingan. Dari
kasus semacam ini yang kemudian muncul adalah kata Nusyuz, yaitu keluarnya suami istri atau
salah satunya dari tugas dan kewajibannya, dan dia tidak melaksanakannya karena
keengganan dan tidak mau patuh.
B.
Bentuk-Bentuk Dan Ciri-Ciri Nusyuz
Nusyuz mempunyai ciri-ciri dan keadaan-keadaan
yang telah dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an. Keadaan Pertama, pendurhakaan
yang dilakukan istri : Al Qur’an menyebutkan keadaan seperti ini dan
menjelaskan bagaimana menyikapi dan sekaligus pula penyelesaiannya. Keadaan
Kedua, bentuk Nusyuznya suami. Keadaan
Ketiga, adalah Nusyuz dari kedua belah
pihak.
a. Nusyuz dari Seorang Istri
Nusyuz dari pihak istri adalah bahwa sang
suami terlepas dari tanggung jawabnya, dan bahwa istrinyalah yang keluar dari
bingkai kepatuhan, atau melakukan sesuatu yang dibenci. Dan dialah yang kemudian
akan menanggung akibat Nusyuznya, bukan suaminya, sebagai firman Allah Surat An
Nisa’ ayat 34 diatas. Ibnu Taimiyah sebagai mana dikutip oleh Shalih bin Ghanim
dalam kesalahan-kesalahan istri berpendapat bahwa Nusyuz adalah bentuk
pendurhakaan istri terhadap suami kemudian lari dari suami dengan arti tidak
taat padanya ketika sang suami menginginkannya untuk melakukan persetubuhan,
atau keluar dari rumah tanpa seizinnya maupun perbuatan yang lain, karena
kesemuanya itu berarti ketidakmauan istri untuk melakukan kewajibannya untuk
taat pada suami.
Dengan melihat definisi yang dipaparkan Ibnu
Taimiyah, para ahli fiqh mengklasifikasikan Nusyuznya isteri pada empat poin.
1.
Meninggalkan
berhias di hadapan suami sedangkan suami
menginginkannya.
2.
Melakukan
pisah ranjang dan menolak untuk menanggapi panggilannya.
3.
Keluar
dari rumah tanpa seijin suami atau tanpa hal Syar’i.
4.
Meninggalkan
kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya seperti Shalat, Puasa Ramadhan.
b. Nusyuz dari Pihak Suami
Nusyuz dari pihak suami adalah sesuatu yang
sangat frontal dan berbahaya. Paling
tidak, ia akan berpengaruh buruk terhadap kebahagiaan rumah tangga dan bahkan
bisa meruntuhkannya. Dan bahwa, peristiwaperistiwa yang tidak di inginkan dan
yang ditimbulkannya lebih banyak dari pada yang di timbulkan oleh Nusyuz istri.
Sebagai Firman Allah Q.S. An Nisa’ : 128. Hal
ini benar, mengingat suami seperti yang kita ketahui, adalah kepala dan tiang
penyangga rumah tangga. Dialah yang mengatur roda keluarga dan di tangan
suamilah tanggung jawab tergenggam. Nusyuz dari suami bisa berbentuk ucapan
maupun perbuatan ataupun kedua-duanya secara bersamaan. Sebagai contoh, suami
memutuskan pembicaraan dan komunikasi terhadap istri tanpa alasan yang jelas.
Dari uraian diatas dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Nusyuz dari suami
mempunyai beberapa dimensi pembahasan dalam istilah syara’:
·
Perlakuan
congkak, sombong, dan acuh tak acuh yang ditonjolkan oleh suami terhadap
istrinya.
·
Memusuhi
dengan memukul, menyakiti, menyakiti dan melakukan hubungan yang tidak baik.
·
Tidak
melaksanakan kewajibannya memberi nafkah.
·
Memperlakukan
istri dengan keras dengan melakukan pisah ranjang dan menolak berbicara, dll.
c. Nusyuz dari kedua pihak suami dan istri
Pendurhakaan, perpecahan, perselisihan dan
interaksi yang buruk dari kedua belah pihak baik suami maupun istri bisa
membawa pada persengketaan dan kehancuran. Hal itu mengakibatkan dampak negatif
yang tidak hanya terhadap suami maupun istri, namun juga menjalar terhadap
keluarga, anak-anak dan komunikasi masyarakat dalam skala yang lebih jelas.
Contohnya kebencian yang berasal dari salah satu diantara mereka untuk
melakukan komunikasi terhadap pasangannya.
BAB II
TAKLIK TALAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Pengertian
Taklik Talak
Taklik
talak berasal dari dua kata yaitu taklik dan talak. Menurut bahasa talak atau
ithlaq berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama talak berarti
melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.
Taklik
atau muallak artinya bergantung. Dengan demikian pengertian taklik talak adalah
talak yang jatuhnya digantungkan kepada suatu syarat. Atau taklik talak adalah
talak yang digantungkan terjadinya terhadap suatu peristiwa tertentu sesuai
dengan perjanjian. Atau taklik talak adalah suatu talak yang digantungkan
pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu
perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dulu. Atau menggantungkan
jatuhnya talak dengan terjadinya hal yang disebutkan setelah akad nikah. Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa taklik talak adalah talak
yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara.
B. Dasar
Hukum Taklik Talak
- Qur’an surat An Nisa ayat 128
“Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar - benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Nusyuz:
yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti
meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap
keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan
haknya. seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau
baik kembali
- KHI pasal 45 dan 116
Kompilasi
hukum islam berbunyi : Kedua calon mempelai dapat mengadakan perkawinan dalam
bentuk :
a) Taklik
talak.
b) Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Alasan
perceraian menurut KHI pasal 116 adalah sebagai berikut :
·
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
·
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya.
·
Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5
tahun atau lebih berat setelah perkawinannya berlangsung.
·
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
·
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri.
·
Antara suami istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam
rumah tangga.
·
Suami melanggar taklik talak.
·
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
ketidakrukunan dalam rumah tangga
C.
Macam-Macam Taklik Talak
Taklik
talak ada dua macam yaitu:
Ø Taklik
qasami adalah taklik yang dimaksudkan seperti janji karena mengandung
pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau
menguatkan suatu kabar.
Ø Taklik
syarthi adalah taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak jika telah
terpenuhi syaratnya.
Adapun
syarat sahnya talak taklik ada tiga yaitu:
- Perkaranya belum ada tetapi
mungkin terjadi di kemudian hari.
- Hendaknya istri ketika lahirnya
akad talak dapat dijatuhi talak.
- Ketika terjadinya perkara yang
ditaklikkan istri berada dalam pemeliharan suami.
Perkara
yang mungkin terjadi kemudian adalah perkara yang tidak terjadi ketika taklik
talak diucapkan,Serta bukan suatu perkara yang mustahil terjadi. Jika
perkara yang ditaklikkan itu hal mustahil terjadi maka hanya dipandang
main-main. Demikian halnya saat pengucapan taklik talak dan ketika perkara yang
ditaklikkan terjadi istri ada dalam pemeliharaan suami. Dalam arti talak hanya
berlaku bagi mereka yang memiliki ikatan perkawuinan tidak dibenarkan seorang
laki-laki mengucapkan talak kepada perempuan yang bukan istrinya.
D. Perbedaan
Pendapat Tentang Taklik Talak
Menurut
Ibnu Hazm dua jenis taklik talak di atas (taklik qasami dan taklik syarthi)
keduanya tidak sah dan ucapannya tidak mengandung akibat apa-apa, dengan alasan
bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan taklik talak
tidak ada tuntunannya dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunah. Ibnu Taymiyyah dan
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa taklik talak yang berarti janji dipandang tidak
berlaku sedang orang yang mengucapkannya wajib membayar kafarat dengan
memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka dan jika
tidak,maka ia wajib berpuasa selama tiga hari. Mengenai talak bersyarat
keduanya berpendapat bahwa talak bersyarat dianggap sah, apabila yang dijadikan
persyaratan telah terpenuhi
BAB III
MUT’AH
KAWIN KONTRAK
A.
Pengertian Nikah Mut’ah
Menurut philology bahasa
dikatakan, bahwa ini bertema dengan rumpun kata kawan, yang berarti teman,
sahabat, sehingga kawin mengandung arti yang sama. Perbedaannya hanya kawin
dengan “A” dan pada kawin dengan “I”. ini memberi arti yang sedikit berbeda dan
membawa arti yang lebih mendalam. Dalam Islam, sebenarnya kawin hendaklah
mengetahui calon pasangannya sekalipun tanpa persahabatan. Dan harus
berdasarkan suka sama suka tidak ada paksaan dari siapapun. Tidak pula
boleh di sebabkan oleh sesuatu problema sebelumnya yang menjadikan perkawinan
itu terpaksa di lakukan.
Perkawinan
Islam bukan semata hubungan jasmani untuk kemaslahatan hawa nafsu dan bersifat
sementara di waktu diperlukan belaka. Selain itu bahwa perkawinan adalah
melestarikan hidup duniawi dengan melahirkan keturunan yang menyusul untuk
menjayakan bumi Allah.
Perkawinan
dalam Islam dinamakan “Zawaj” atau “Nikah”, artinya pasangan dalam arti
dua mahkluk di jadikan pasangan hidup. Ada juga yang mengartikan
bahwa nikah adalah akad yang mengikat dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang
menghalalkan dua jenis manusia untuk hidup secara halal dalam hubungan yang sah
secara mendalam dimana mendapat persetubuhan yang menjaga hawa nafsu, mata dan
fikiran dari sikap yang menjerumuskan dan membahayakan.
Kata
mut’ah di artikan kesenangan atau hiburan. Dilihat dari arti bahasa ini, maka
mut’ah artinya pernikahan semata-mata untuk tujuan hiburan, memuaskan syahwat.
Dalam arti istilah mut’ah ialah perkawinan sementara dengan tujuan semata-mata
mencari kepuasan seksual bagi pihak laki-laki dan pihak wanita. Bagi pihak
wanita boleh jadi bisa di jadikan perkawinannya. Setelah masa perkawinannya
usai, dengan sendirinya ikatan itupun terputus, pihak wanita mendapatkan upah.
Jadi
nikah mut’ah adalah nikah yang di lakukan seseorang dengan tujuan semata-mata
untuk melepaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah
tersebut dilarang karena di lakukan untuk waktu yang terbatas dan tujuannya
tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yang di syari’atkan.
B.
Syarat Mut’ah
Ketika
Islam belum turun, nikah mut’ah ternyata sudah membudaya di masyarakat. Pada
saat itu syariat Islam belum melarangnya. Hikmahnya ialah supaya aqidah Islam
meresap dahulu, baru setelah pemahaman aqidah meresap larangan mut’ah
diberlakukan.
Seluruh
kaun muslimin sepakat bahwa Islam telah menghalalkan pernikahan mut’ah selama
beberapa hari pada peristiwa penaklukan kota Makkah yaitu selama tiga
hari saja (Nabi yang Agung dan selalu menjaga kemaluan menghalalkan pernikahan
mut’ah kepada para sahabatnya untuk bermut’ah), yang terjadi pada tahun ke-5 H.[5] Sesuai sabda Rasul :
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلاَكْوَعٍ رَضِيَ اللهُ
قَـالَ : رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. مَـامَ اَوْطَاسٍ فِىالْمُتْعَةِ ثَلاَثَةَ
أَيَّـامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)
“Dari
Salamah bin al-Akwa, r.a, ia berkata: Pernah Rasulullah S.a.w membolehkan
perkawinan mut’ah pada hari (peperangan) authas selama tiga hari, kemudian
sesudah itu Ia larang”. (H.R. Muslim)
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَـالَ : إِنَّـمَاكَانَتِ الْمُتْعَةُ فِىاَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ كَانَ
الرَّجُلُ يَقْدُمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ
بِقَدْرِ مَا يَرَى أَنَّهُ يُقِيْمُ فَنَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ وَتُصْلِحُ لَهُ
سَاءْ نَهُ (رواه الترمذى)
“Dari
Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adakah kawin mut’ah pada awal
Islam, ialah seorang laki-laki masuk ke satu negeri yang tidak ada baginya di
jalin kenalan, lalu ia kawin kepada seorang wanita sekedar masa yang ia rasa,
bahwa ia akan tinggal disana, maka wanita itu pelihara barang-barangnya dan
mengurus keperluannya”. (H.R. Tirmidzi
Melihat
dari sejarah di atas, maka Golongan syi’ah mengartikan dan menyimpulkan bahwa
nikah mut’ah itu boleh di lakukan bagi umat Islam, sesuai apa yang telah
diperbolehkan tanpa memahami setelah itu Rasul melarangnya. Di sini akan
dibahas sedikit di kalangan Syi’ah tentang nikah mut’ah.
C. Nikah
Mut’ah Halal di Kalangan Syi’ah
Menurut syi’ah, mut’ah tidak boleh di
lakukan kembali oleh orang yang mengetahui dengan benar. Maksudnya percaya
dengan riwayat-riwayat bohong yang mengatas-namakan ucapan ahli bait dan yang
mengetahui kebebasan seks. Jika ia percaya pada hal itu, halal baginya nikah
mut’ah. Sementara terhadap orang yang tidak mengetahuinya haram.
Nikah mut’ah yang berlaku di kalangan
syi’ah ialah dengan batas waktu yang jelas dan dengan imbalan upah yang jelas
pula. Ketentuan ini secara otomatis batal setelah masa yang telah ditentukan
itu berakhir. Adapun mengenai sighad (akad) nikah mut’ah
adalah seperti yang diriwayatkan dari Abban bin Thaghlib, ia berkata : Aku
bertanya kepada Abu Abdullah : “Apa yang akan aku katakan kepada perempuan bila
aku bersunyi-sunyian dengannya? Ia menjawab : kamu mengatakan : Aku menikahimu
secara mut’ah atas dasar Kitabullah dan sunnah Nabi, tidak waris-mewarisi,
selama sekian hari dan jika kamu menghendaki, untuk sekian tahun, dengan
imbalan sekian dirham. Kamu sebutkan imbalannya menurut yang telah disepakati,
sedikit atau banyak. Jika ia mengatakan ya, berarti dia rela dan ia telah
menjadi istrimu.
D.
Hukum Nikah Mut’ah
Menurut
sumber jelas sekali, hukum nikah mut’ah itu haram, lain lagi dengan faham
syi’ah. Mereka membolehkan nikah mut’ah sebagaimana pendapat umum
mengetahuinya. Tentu saja mereka beralasan pula, bahkan menggunakan ayat dan
hadits sebagai alasannya.
Pembenaran
pemahaman mut’ah didasarkan atas tafsir keliru, yaitu penggunaan ke-24 dari surat an-Nisa’,
yang artinya : “Kalau kamu melakukan nikah mut’ah, maka bayarlah mahar
mereka sebagai suatu kewajiban”. Ayat ini sengaja dipenggal supaya maknanya
tidak sama dengan tafsiran jumhur ulama Sunni. Padahal ayat ini sama sekali
tidak ada kaitannya dengan nikah mut’ah, akan tetapi membicarakan soal mahar
bagi istri yang sah di nikahi.
Imam
al-Qurthubi, seorang ulama Sunni menulis dalam tafsirnya bahwa Q.S. an-Nisa’ :
24, dipahami oleh mayoritas ulama sebagai izin melakukan nikah mut’ah, tetapi
itu pada awal masa Islam dan izin tersebut telah di cabut atau dibatalkan.
Memang sekian banyak hadits sahih yang membuktikan bahwa nikah mut’ah pernah di
lakukan oleh para sahabat Nabi dan beliau tidak melarangnya, namun kemudian
dibatalkan.
Hukum
Nikah Mut’ah yang terdapat dalam Nas al-Qur’an
- Q.S. al-Baqarah [2] : 241
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (البقراة : 241)
“Kepada
wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah*ª menurut yang ma`ruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Q.S. al-Baqarah :
24).[9]
- Q.S. an-Nisa’ [4] : 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا
مَلَـكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَـكُمْ مَا وَرَاءَ
ذَلـِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِـكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُـوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ
اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (النـساء : 24)
“Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki*b (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian*c (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu.*d Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. (Q.S. an-Nisa : 24)[10]
- Q.S. al-Mu’minun [23] : 5-6
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ(5)إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”,
“Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
Dalam surat al-Mu’minun
: 5-6, tidak disebut mut’ah, sehingga dengan demikian ayat ini melarangnya atau
dengan kata lain nikah mut’ah tidak menjadi sebagai salah satu cara yang
dibenarkan untuk menyalurkan nafsu seksual.
Hadits Nabi tentang Nikah Mut’ah
1. H.R
Hasan, Thabrani
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْرٍ السَّـاعِدِى قَالَ :
إِنَّمَـا رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فيِ الْمُتْعَةِ لِحَاجَةٍ كَانَتْ
بِالـنَّاسِ شَرِيْرَةٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَابَعْرُ (رواه حسن الطبرا نى)
“Dari
Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata : “tidak lain Nabi memberi kelonggaran
tentang mut’ah itu melainkan karena satu keperluan yang sangat mengenai
orang-orang, lalu sesudah itu Nabi larang”. (H.R. Hasan, Thabrani)
2. H.R
Ahmad dan Muslim
عَنْ سُبْرَةَ الْجُهَنِيِّ أَنَّـهُ كَانَ
مَعَ النَّبِيِّ ص.م. فقال: يَـاآيُّـهَاالنَّـاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ
فِىاْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَمَ ذَلِكَ اِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ
سَبِيْلَهُ وَلاَ تَـاءْ خُرُوْ مِمَّااَتَيْتُمُوْ هُنَّ شَيْئًا (رواه احمد
ومسلم)
“Dari
Saburah al-Juhani bahwa ia pernah berpegang bersama Rasulullah S.a.w dalam
menaklukkan Mekkah, Rasulullah kemudian bersabda : Saudara-saudara sekalian!
Sesungguhnya Aku dahulu mengizinkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ingatlah!
Sesungguhnya (mulai hari ini) Allah telah melarangnya hingga hari kiamat nanti,
lantaran itu barang siapa yang ada padanya wanita nikah mut’ah, hendaklah
ceraikan dia dan janganlah kamu ambil satu pun dari apa-apa yang kamu telah
berikan kepada mereka.” (H.R. Ahmad dan Muslim
Pendapat para ulama tentang Nikah Mut’ah
1. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah
Dalam
kitabnya Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, menyatakan tidak ada satupun ayat
al-Qur’an yang membolehkan pernikahan mut’ah. Kaum Sunni tidak saja mengikuti
pendapat Umar bin Khattab, tapi juga seluruh Khulafaur Rasyidin termasuk
sahabat Ali r.a yang oleh kalangan syi’ah dimuluskan (tidak sepengetahuan
sahabat Ali r.a itu sendiri). Anehnya, kaum Syi’ah justru membolehkannya, padahal
Ali r.a melarangnya, tidak menyetujui.
2. Ulama
Sunni
Ulama
Sunni menilai walaupun terdapat perbedaan tentang masalah dibatalkannya, namun
yang jelas bahwa keseluruhan riwayat tersebut sepakat menyatakan dilarangnya
nikah mut’ah, dengan demikian tidak perlu dipersoalkan lagi tentang waktu
pelarangannya, yang penting adalah larangannya.
BAB IV
Khulu’ atau Fasakh
A. Pembahasan
Syariat
islam menjadikan al-khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian
konflik rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu
bagaimana status al-khulu’ bila telah ditetapkan, apakah dihitung sebagai cerai
atau fasakh (pembatalan akad nikah)?
Para ulama, dalam hal ini, berselisih pendapat
dalam beberapa pendapat:
1.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak bain dan ini adalah
pendapat Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i dalam Qaul Jadid.
2.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak raj’i. Ini adalah pandapat
Ibnu Hazm.
3.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah fasakh (penghapusan akad nikah)
bukan talak. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah, dan Daud
az-Zahiri. [1] Juga zahir Mazhab Ahmad bin Hambal dan mayoritas ahli Fikih yang
muhaddits (fuqaha’ hadits).
Syekhul Islam
menyatakan, “Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf
dan khalaf. Zahir Mazhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan bahwa (al-khulu’)
adalah faskh nikah dan bukan talak yang tiga. Seandainya suami mengkhulu’
sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahi istrinya dengan akad nikah baru
sebelum menikah dengan selainnya. Ini adalah salah satu pendapat Syafi’i dan
pendapat mayoritas fuqaha’ ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur,
Daud, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas
dan sahabat-sahabat beliau, seperti Thawus dan ‘Ikrimah.
Pandapat yang rajih adalah pendapat ketiga,
dengan dalil sebagai berikut:
Dalil pertama, firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ
أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ
شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن
بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Talak (yang dapat
dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang
zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali, jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al-Baqarah:
229–230)
Dalam ayat yang mulia
ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan talak dua kali,
kemudian menyebutkan al-khulu’, kemudian diakhiri dengan firman-Nya,
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ
Seandainya al-khulu’
adalah talak, tentunya jumlah talaknya menjadi empat dan talak yang tidak halal
lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat.
Demikianlah yang
dipahami oleh Ibnu Abbas dari ayat di atas.
Beliau pernah ditanya
tentang seorang yang mentalak istrinya dua kali, kemudian sang istri melakukan
gugatan cerai (al-khulu’). Apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau menjawab,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan talak di awal
ayat dan diakhirnya, serta al-khulu’ di antara keduanya. Dengan demikian,
al-khulu’ bukanlah talak. (Oleh karena itu,) ia boleh menikahinya.
(Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf: 6/487 dan Sa’id
bin Manshur (1455) dengan sanad shahih)
Dalil kedua, hadits
ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berbunyi,
أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
“Beliau melakukan
al-khulu’ pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya –atau dia diperintahkan– untuk menunggu satu
kali haidh.” (Hr. at-Tirmidzi; dinilai shahih oleh al-Albani dalam
at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/275).
Seandainya al-khulu’
adalah talak, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu haid.
Dalil ketiga, pernyataan Ibnu
Abbas,
مَا أَجَازَهُ الْمَالُ فَلَيْسَ بِطَلاَقٍ
“Semua yang dihalalkan oleh harta bukanlah
talak.” (Diriwayatkan
oleh Abdurrazaq dalamal-Mushannaf, no. 11767)
Dalil keempat, hal ini sesuai
tuntutan kaidah syariat, karena iddah (masa menunggu wanita yang ditalak)
dijadikan tiga kali haid agar masa tenggang untuk rujuk menjadi lama, lalu
suami perlahan-lahan (berpikir) serta memungkinkannya untuk rujuk dalam masa
tenggang iddah tersebut. Apabila pada al-khulu’ tidak ada kebolehan untuk
rujuk, maka maksudnya adalah sekadar untuk memastikan bahwa rahim tidak berisi
janin (sang wanita tidak hamil, ed), dan itu cukup dengan sekali haid saja,
seperti al-istibra’.
Dalil kelima,
asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa yang
menunjukkan bahwa al-khulu’ bukanlah talak adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala
menetapkan tiga hukum setelah talak yang tidak ada dalam al-khulu’, yaitu:
1.
Suami lebih berhak diterima rujuknya.
2.
Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna
bilangan tersebut hingga sang wanita menikahi suami baru dan berhubungan
suami-istri dengannya.
3.
Iddahnya tiga quru’ (haid).
Padahal, telah
ditetapkan dengan nash dan ijma’ bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu’.
Pendapat ini dirajihkan
oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, asy-Syaukani, Syekh Muhammad bin Ibrahim, Syekh
Abdurrahman as-Sa’di, serta Syekh al-Albani.
Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah menyatakan, “Pendapat yang telah kami jelaskan, yaitu al-khulu’ adalah
fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafal apa pun adalah yang
shahih yang ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya
seorang lelaki memisah istrinya dengan tebusan (al-khulu’) sebanyak beberapa
kali, ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafal talak atau selainnya.”
Syekh Abdurrahman bin
Nashir as-Sa’di menyatakan, “Yang shahih adalah bahwa khulu’ tidak terhitung
sebagai talak, walaupun dengan lafal talak dan niatnya, karena Allah menjadikan
tebusan bukan talak dan itu umum, baik dengan lafal talak yang khusus atau
dengan lafal lainnya, dan karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya,
bukan lafal dan susunan katanya.”
Sedangkan Syekh
al-Albani menyatakan, “Dan yang benar adalah bahwa fasakh sebagaimana yang
dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syekhul Islam dalam al-Fatawa.”
B.
Hasil dan Konsekuensi Masalah Ini
Masalah al-khulu’ yang
merupakan fasakh bukan talak akan memberikan beberapa hukum sebagai
konsekuensinya, di antaranya:
- Tidak dianggap dalam hitungan
talak yang tiga. Sehingga seandainya seorang mengkhulu’ setelah melakukan
dua kali talak, maka ia masih diperbolehkan menikahi istrinya tersebut,
walaupun al-khulu’nya terjadi lebih dari sekali. Sebagaimana dijelaskan
Syekhul Islam di atas.
- Iddah atau masa menunggunya
hanya sekali haid, dengan dasar hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz tang
telah disampaikan di atas. Ini dikuatkan pula dengan hadits Ibnu Abbas
yang berbunyi,
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ
اخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِدَّتَهَا حَيْضَةً
“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais meminta talak (al-khulu’)
darinya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali
haid.” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu
Daud, no. 2229)
Inilah pendapat Utsman bin ‘Affan, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas,
Ishaq, Ibnu al-Mundzir, dan riwayat dari Ahmad bin Hambal. Inilah yang
dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
- Al-Khulu’ diperbolehkan dalam
setiap waktu, walaupun dalam keadaan haid atau suci yang telah dipergauli,
karena al-khulu’ disyariatkan untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa
wanita dengan sebab tidak baiknya pergaulan sang suami atau tinggal
bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang
melakukan al-khulu’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar